Dalam muqoddimah buku “Rabi’ah al-Adawiyah” tersebut, Syekh
Mahmud Syaltut menyebutkan bahwa di dunia ini kita membutuhkan tiga pondasi
hidup: yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Untuk
perkara Ihsan, kita bermakmum pada pemimpin kita, yaitu Imam yang empat. Untuk
perkara Iman, kita mengimani kepercayaan yang diusung Imam Asy’ari. Dan perkara Ihsan kita berkaca
kepada Hasan al-Basri dan Rabi’ah al-Adawiyah.
Diceritakan ada dua nama yang dinisbahkan kepada Rabi’ah
al-‘Adawiyah. Pertama anak dari Isma’il yang berasal dari Syam, dan meninggal
pada tahun 229 M. Kedua, Rabi’ah al-Adawiyah yang tidak menikah sampai akhir
hayatnya, ia berasal dari Basrah, dan meninggal pada tahun 180 M. Dalam riwayat,
Rabi’ah al-Adawiyah terakhir inilah
yang bertemu dengan Dzunun al-Misri dan
terjadi perdebatan antara mereka.
Sebelum kelahiran Rabi’ah, Ayahnya ingin sekali memiliki
anak lelaki. Tetapi dengan kuasa Allah SWT, yang terlahir adalah anak
perempuan. Dengan kerendahan hatinya akan takdir Allah SWT, ia tetap bahagia
dengan kelahiran putrinya. Konon, keluarganya merupakan keluarga yang tidak
berkecukupan, sedangkan Rabi’ah memiliki tiga saudara perempuan. Rabi'ah sudah terlihat kezuhudan sejak kecil, yaitu suatu
hari mereka sekeluarga keluar rumah ingin jalan-jalan. Di pertengahan
perjalanan, ayahnya menawarkan kepada anak-anaknya makanan, hanya Rabi’ah
al-Adawiyah yang menolak makanan tersebut. Ia berkata, “Sabarlah wahai Ayah, kelaparan kita di dunia lebih baik dari pada
kita sabar di akhirat dengan neraka.”
Di saat malam tiba, dan semua orang terlelap dalam tidurnya,
Rabi’ah kecil masih bersimpuh di atas sajadahnya, hingga fajar pagi kemerahan
muncul dari balik ufuk, Rabi’ah masih menegadahkan tangannya seraya
bertasbih dan bertahmid kepada Tuhannya. Diceritakan, bahwasanya ia shalat
malam sepanjang malam hingga mencapai 100 raka’at, sampai tikar sajadahnya
dapat diperas, karena air mata sucinya yang tercucur mengalir akan Cintanya kepada
Tuhan. Cahaya Ilahipun terpancar dari sudut kamarnya, padahal tidak ada
sedikit pun alat penerang semacam lilin berada di kamar itu.
Ketika umurnya belum
beranjak dewasa, ayahnya sudah dipanggil kehadirat Allah SAW. Ayahnya
tidak meninggalkan apa-apa untuk keempat
putrinya di Basrah, kecuali sebuah gubuk. Ketika itu, fitnah di Basrah sedang
bergejolak antara Syiah dan Khawaraij. Fitnah
kehidupan di keluarga itu juga lama-kelamaan menyakitkan. Karena kehabisan
persediaan, mereka berempat sering merasa kelaparan. Pada saat itu, banyak penjahat-penjahat
bekeliaran ingin mencuri. Akhirnya
Rabi’ah kecil tertangkap oleh seorang pencuri, ia berusaha kabur, tetapi ia
malah terjatuh ke tanah. Niatnya untuk kabur nihil. Akhirnya pencuri itu menjual Rabi’ah kecil dengan harga
enam dirham saja. Bayangkan betapa menderitanya Rabi’ah ketika itu. Tetapi dengan izin Allah SWT Rabi'ah terbebas, dan menetap untuk sementara di masjid. Karena dia mengamini bahwasanya masjid tidak baik untuk wanita, maka ia memilih gubuk kecil sebagai tempat ibadah dan tempat tinggalnya.
Rabi’ah al-Adawiyah tidak menikah sepanjang hidupnya, dengan
tiga alasan: Ia berkata, pertama “Ketika aku mati, aku bisa menghadapkan imanku
dengan keadaan suci. Kedua, aku akan memberikan kitab di kananku pada Hari
Kiamat. Ketiga, pada saat datang hari kebangkitan, akan dipanggil golongan
kanan ke surga dan golongan kiri ke neraka, dan aku tidak mengetahui kemanakah
aku akan dipanggil?. Dengan ketakutan yang sangat ini, bagaimana mungkin aku
sempat untuk memikirkan pernikahan?. “
Pada suatu hari datang padanya seorang laki-laki dan
bertanya, “Aku seorang pendosa dan pemaksiat, jika aku bertaubat apakah akan
terampuni ?. Rabi’ah menjawab, “Tidak, kecuali Dia yang memberi taubat untuk
mu.” Dalam surat Taubah ayat 118 berbunyi, “Tsumma Taba ‘Alaihim
Liyatubu”. Bukan berarti maksudnya di
sini berputus asa akan taubat, tetapi ia melihat bahwa taubat adalah hadiah dan
kenikmatan dari Allah SWT. Agar manusia sadar, bahwasanya ia membutuhkan ihsan
dari Tuhannya. Untuk itu, manusia tidak boleh sombong ketika berhadapan dengan
Tuhannya. Dengan ini, manusia ada
yang bertaubat dari kehinaannya, ada
yang bertaubat dari kealpaannya berzikir kapada Tuhan langit bumi, dan ada
yang bertaubat dari fitnah nafsu atau keterpesonaannya melihat sesuatu yang
baik.
Rabi’ah juga melihat, bahwasanya seorang pentaubat tidak
cukup hanya dengan beristighfar. Tetapi pentaubat harus berjihad dengan nafsunya untuk
meminta keridhoan Allah SWT, setelah terlepas selepas-lepasnya dari segala
jerat dosa dan maksiat. Maka sering kita
mendengar nasehatnya, “Istighfaruna yahtaj ila Istighfar li ‘adami as-Sidhqi Fihi (Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi)”.
Konon Rabi’ah meminta ampun kepada Tuhannya dengan do'a, “Astaghfirullah min Qillati
Shidqi fi Qauli Astaghfirullah.”
Seorang sufi tidak pernah taklid buta dalam bermujahadah
mencapai tingkatannya, tetapi 'hal' tersebut adalah mauhibah yang sudah melekat pada
dirinya, yang dinamakan sebagai tabi’atnya. Dari masa Hasan al-Basri sampai
munculnya Rabi’ah, semuanya masih dalam kezuhudan dan ibadah mereka pada
umumnya. Namun kedatangan Rabi’ah, membawa aroma baru dalam kezuhudannya, yaitu “Hubbu
al-Uluwy”.
Ada seseorang yang bertanya padanya, “Kapankah seorang
dikatakan ridho?.” Dia menjawab, “Ketika dia senang ketika mendapat musibah,
sama senangnya ketika ia mendapatkan nikmat.”
Rabi’ah telah tenggelam sepenuhnya akan kecintaannya pada
Tuhannya. Pernah suatu ketika dia sujud dan matanya kemasukan kerikil kecil,
saking konsentrasinya, ia tidak merasakan apa-apa hingga akhir shalatnya. Betapa
khusyuknya pengabdiannya?......
Dia telah sibuk di alam lain hingga panca
indranya pun di dunia nyata tidak
memberikan pengaruh sakit sedikitpun
darinya. Allah…..
Adapun karamah yang diberikan Allah SWT kepada Rabi’ah
berupa penjagaan. Pada suatu hari pencuri masuk ke rumahnya dan sudah bergegas
menghabisi baju-baju miliknya. Namun ketika keluar dari rumah Rabi’ah, si
pencuri tidak menemukan pintu untuk keluar.
Kemudian terdengar suara bahwasanya ia tidak akan dapat mencuri apa-apa
dari Rabi’ah, karena ia terjaga. Akhirnya Rabi’ah terbangun dan menyuruh
pencuri berwudlu' dan shalat dua raka’at. Bukan kejelekan dibalas kejelakan,
malah Rabi’ah mengangkat kedua tangannya dan meminta kepada Allah SWT agar tidak
diputuskan kemuliaan dan pahala bagi si pencuri. Sungguh betapa penyayang dan beradabnya
Rabi’ah….
Rabi'ah hidup mencapai delapan puluh umurnya. Tidak sedikit
yang memuji kezuhudannya, hingga ketika akan meninggalpun ia tidak mau
menyusahkan orang-orang sekelilingnya. Muhammad bin ‘Amru berkata,” Saya masuk
ke kamar Rabi’ah, umurnya telah mencapai delapan puluh dan sering oleng ketika
berdiri. Saya melihat keharuman semerbak dari kamarnya, dan sebuah gubuk kecil
tempat shalatnya. Saat ia mengingat kematian, mengalirlah air matanya.”
Rabi’ah meninggal dengan membaca surat al-Fajr 27-28.
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan diri, dan mengingat Tuhannya, kemudian ia shalat. Tetapi kamu orang-orang kafir lebih memilih kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal."
----Intisati dari kitab "Rabi'ah al-'Adawiyah Rodhiyaallah 'Anha wa Ardhoha". I'dad: Muhammad 'Atif Khomis. Qadamaha: Abdul Halim Mahmud (Mantan Syekh al-Azhar). (Kairo: Maktabah Raudah as-Syarif lil bahsi al-Ilmi, 2013)
----Intisati dari kitab "Rabi'ah al-'Adawiyah Rodhiyaallah 'Anha wa Ardhoha". I'dad: Muhammad 'Atif Khomis. Qadamaha: Abdul Halim Mahmud (Mantan Syekh al-Azhar). (Kairo: Maktabah Raudah as-Syarif lil bahsi al-Ilmi, 2013)