Jumat, 11 April 2014

CINTA TERTINGGI RABI’AH AL-'ADAWIYAH


Dalam muqoddimah buku “Rabi’ah al-Adawiyah” tersebut, Syekh Mahmud Syaltut menyebutkan bahwa di dunia ini kita membutuhkan tiga pondasi hidup: yaitu Islam, Iman, dan Ihsan.  Untuk perkara Ihsan, kita bermakmum pada pemimpin kita, yaitu Imam yang empat. Untuk perkara Iman, kita mengimani kepercayaan yang diusung  Imam Asy’ari. Dan perkara Ihsan kita berkaca kepada Hasan al-Basri dan Rabi’ah al-Adawiyah.

Diceritakan ada dua nama yang dinisbahkan kepada Rabi’ah al-‘Adawiyah. Pertama anak dari Isma’il yang berasal dari Syam, dan meninggal pada tahun 229 M. Kedua, Rabi’ah al-Adawiyah yang tidak menikah sampai akhir hayatnya, ia berasal dari Basrah, dan meninggal pada tahun 180 M. Dalam riwayat, Rabi’ah al-Adawiyah  terakhir inilah yang  bertemu dengan Dzunun al-Misri dan terjadi perdebatan antara mereka.

Sebelum kelahiran Rabi’ah, Ayahnya ingin sekali memiliki anak lelaki. Tetapi dengan kuasa Allah SWT, yang terlahir adalah anak perempuan. Dengan kerendahan hatinya akan takdir Allah SWT, ia tetap bahagia dengan kelahiran putrinya. Konon,  keluarganya merupakan keluarga yang tidak berkecukupan, sedangkan Rabi’ah memiliki tiga saudara perempuan. Rabi'ah sudah terlihat kezuhudan sejak kecil, yaitu suatu hari mereka sekeluarga keluar rumah ingin jalan-jalan.  Di pertengahan perjalanan, ayahnya menawarkan kepada anak-anaknya makanan, hanya Rabi’ah al-Adawiyah yang menolak makanan tersebut. Ia berkata, “Sabarlah wahai Ayah,  kelaparan kita di dunia lebih baik dari pada kita sabar di akhirat dengan neraka.”
 
Di saat malam tiba, dan semua orang terlelap dalam tidurnya, Rabi’ah kecil masih bersimpuh di atas sajadahnya, hingga fajar pagi kemerahan muncul dari balik ufuk, Rabi’ah masih menegadahkan tangannya seraya bertasbih dan bertahmid kepada Tuhannya. Diceritakan, bahwasanya ia shalat malam sepanjang malam hingga mencapai 100 raka’at, sampai tikar sajadahnya dapat diperas, karena air mata sucinya yang tercucur mengalir akan Cintanya kepada Tuhan. Cahaya Ilahipun terpancar dari sudut kamarnya, padahal tidak ada sedikit pun alat penerang semacam lilin berada di kamar itu.

Ketika umurnya belum beranjak dewasa, ayahnya sudah dipanggil kehadirat Allah SAW. Ayahnya tidak  meninggalkan apa-apa untuk keempat putrinya di Basrah, kecuali sebuah gubuk. Ketika itu, fitnah di Basrah sedang bergejolak antara Syiah dan Khawaraij.  Fitnah kehidupan di keluarga itu juga lama-kelamaan menyakitkan. Karena kehabisan persediaan, mereka berempat sering merasa kelaparan.  Pada saat itu, banyak penjahat-penjahat bekeliaran ingin mencuri.  Akhirnya Rabi’ah kecil tertangkap oleh seorang pencuri, ia berusaha kabur, tetapi ia malah terjatuh ke tanah. Niatnya untuk kabur nihil. Akhirnya  pencuri itu menjual Rabi’ah kecil dengan harga enam dirham saja. Bayangkan betapa menderitanya Rabi’ah ketika itu. Tetapi dengan izin Allah SWT Rabi'ah terbebas, dan menetap untuk sementara di masjid. Karena dia mengamini bahwasanya masjid tidak baik untuk wanita, maka ia memilih gubuk kecil sebagai tempat ibadah dan tempat tinggalnya.

Rabi’ah al-Adawiyah tidak menikah sepanjang hidupnya, dengan tiga alasan: Ia berkata, pertama “Ketika aku mati, aku bisa menghadapkan imanku dengan keadaan suci. Kedua, aku akan memberikan kitab di kananku pada Hari Kiamat. Ketiga, pada saat datang hari kebangkitan, akan dipanggil golongan kanan ke surga dan golongan kiri ke neraka, dan aku tidak mengetahui kemanakah aku akan dipanggil?. Dengan ketakutan yang sangat ini, bagaimana mungkin aku sempat untuk memikirkan pernikahan?. “

Pada suatu hari datang padanya seorang laki-laki dan bertanya, “Aku seorang pendosa dan pemaksiat, jika aku bertaubat apakah akan terampuni ?. Rabi’ah menjawab, “Tidak, kecuali Dia yang memberi taubat untuk mu.” Dalam surat Taubah ayat 118 berbunyi, “Tsumma Taba ‘Alaihim Liyatubu”.  Bukan berarti maksudnya di sini berputus asa akan taubat, tetapi ia melihat bahwa taubat adalah hadiah dan kenikmatan dari Allah SWT. Agar manusia sadar, bahwasanya ia membutuhkan ihsan dari Tuhannya. Untuk itu, manusia tidak boleh sombong ketika berhadapan dengan Tuhannya.  Dengan ini, manusia ada yang  bertaubat dari kehinaannya, ada yang bertaubat dari kealpaannya berzikir kapada Tuhan langit bumi, dan ada yang bertaubat dari fitnah nafsu atau keterpesonaannya melihat sesuatu yang baik.

Rabi’ah juga melihat, bahwasanya seorang pentaubat tidak cukup hanya dengan beristighfar. Tetapi pentaubat harus berjihad dengan nafsunya untuk meminta keridhoan Allah SWT, setelah terlepas selepas-lepasnya dari segala jerat dosa dan maksiat.  Maka sering kita mendengar nasehatnya, “Istighfaruna yahtaj ila Istighfar li ‘adami as-Sidhqi Fihi (Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi)”. Konon Rabi’ah meminta ampun kepada Tuhannya dengan do'a, “Astaghfirullah min Qillati Shidqi fi Qauli Astaghfirullah.”

Seorang sufi tidak pernah taklid buta dalam bermujahadah mencapai tingkatannya, tetapi 'hal' tersebut adalah mauhibah yang sudah melekat pada dirinya, yang dinamakan sebagai tabi’atnya. Dari masa Hasan al-Basri sampai munculnya Rabi’ah, semuanya masih dalam kezuhudan dan ibadah mereka pada umumnya. Namun kedatangan Rabi’ah, membawa aroma baru dalam kezuhudannya, yaitu “Hubbu al-Uluwy”.

Ada seseorang yang bertanya padanya, “Kapankah seorang dikatakan ridho?.” Dia menjawab, “Ketika dia senang ketika mendapat musibah, sama senangnya ketika ia mendapatkan nikmat.”

Rabi’ah telah tenggelam sepenuhnya akan kecintaannya pada Tuhannya. Pernah suatu ketika dia sujud dan matanya kemasukan kerikil kecil, saking konsentrasinya, ia tidak merasakan apa-apa hingga akhir shalatnya. Betapa khusyuknya pengabdiannya?...... 
Dia telah sibuk di alam lain hingga panca indranya  pun di dunia nyata tidak memberikan pengaruh  sakit sedikitpun darinya. Allah…..

Adapun karamah yang diberikan Allah SWT kepada Rabi’ah berupa penjagaan. Pada suatu hari pencuri masuk ke rumahnya dan sudah bergegas menghabisi baju-baju miliknya. Namun ketika keluar dari rumah Rabi’ah, si pencuri tidak menemukan pintu untuk keluar.  Kemudian terdengar suara bahwasanya ia tidak akan dapat mencuri apa-apa dari Rabi’ah, karena ia terjaga. Akhirnya Rabi’ah terbangun dan menyuruh pencuri berwudlu' dan shalat dua raka’at. Bukan kejelekan dibalas kejelakan, malah Rabi’ah mengangkat kedua tangannya dan meminta kepada Allah SWT agar tidak diputuskan kemuliaan dan pahala bagi si pencuri. Sungguh betapa penyayang dan beradabnya Rabi’ah….

Rabi'ah hidup mencapai delapan puluh umurnya. Tidak sedikit yang memuji kezuhudannya, hingga ketika akan meninggalpun ia tidak mau menyusahkan orang-orang sekelilingnya. Muhammad bin ‘Amru berkata,” Saya masuk ke kamar Rabi’ah, umurnya telah mencapai delapan puluh dan sering oleng ketika berdiri. Saya melihat keharuman semerbak dari kamarnya, dan sebuah gubuk kecil tempat shalatnya. Saat ia mengingat kematian, mengalirlah air matanya.”

Rabi’ah meninggal dengan membaca surat al-Fajr 27-28.

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan diri, dan mengingat Tuhannya, kemudian ia shalat. Tetapi kamu orang-orang kafir lebih memilih kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal."

----Intisati dari kitab "Rabi'ah al-'Adawiyah Rodhiyaallah 'Anha wa Ardhoha". I'dad: Muhammad 'Atif Khomis. Qadamaha: Abdul Halim Mahmud (Mantan Syekh al-Azhar). (Kairo: Maktabah Raudah as-Syarif lil bahsi al-Ilmi, 2013)


Rabu, 19 Maret 2014

Cinta, Anugrah atau Musibah?

Kawanku di sakan ribut tentang kapan datangnya cinta. Yang satu ngotot bilang kalo cinta itu datangnya sebelum nikah, karena kita tidak mungkin menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Yang satu lagi keukeh kalo cinta itu datangnya habis nikah, kalo datang sebelumnya syahwat namanya.

# Cinta.... cinta... kamu salah apa seh??... 
# Tak usah memperluas atau mempersempit kata cinta. Cinta itu sederhana, ia adalah anugrah Tuhan yang bisa datang kapan saja. Tugas kita hanya menjaganya agar tetap suci Itu saja.. 

Ceritaku di Kajian



Pertama kali datang ke Mesir aku tak pernah mengenal dunia luar -setelah pengabdian Gp5 langsung berangkat Mesir- seperti manusia yang baru lahir dari rahim ibunya. Keluguanku menjanjikan harapan palsu pada semua orang. Awalnya aku sudah ditempatkan di rumah awan, rumah almameterku. Sehari di rumah itu, aku diajak seseorang berpakaian hitam yang kebetulan teman sekelas kakakku di SMA dulu. Aku di ajak tidur di rumah yang serba gelap itu dan diajak untuk memikirkan lagi omongannya. Ia mencoba meyakinkanku untuk menjaga diri, salah satunya dengan menutup muka. Ah... maksudnya bagaimana?... aku masih berpikir lagi, mungkinkah orang gokil sepertiku berpakaian seperti itu?... Tapi aku menolak halus dengan alasan agar aku melihat dulu situasi masisir. Tapi Alhamdulillah juga aku segera dijemput oleh ketua IKPM; ka Huda, ka Muja dan ka Thomas. Sebulan di Gami Awan, penampilanku agak sedikit berubah, jilbabku agak kaffah. Tapi malah pujian yang mengandung sindiran yang ku dapat. Haih… aku benci dengan semua orang. Aku tidak suka berkumpul dengan laki-laki ngobrol dan tak ada ujung. Ah.. pergaulannya,, bikin ku mengelus dada.

Memang betul kata al-Quran, "Ittaqillah yaj'aluhu makhraja", akhirnya aku memilih tinggal di asrama setelah diskusiku dengan abi tentang keadaan mahasiswa Mesir. Beberapa bulan di asrama aku disambut teman sekamar yang kebetulan kakak kelasku di pondok, Wirna Hayati dan Tsaqofina. Dari merekalah aku sedikit bijak untuk bertindak. Dari ka Wirnalah aku diajak membuka mata, bahwa tidak semua pergaualan IKPM itu buruk, seperti apa yang ku pikirkan. Akhirnya aku diajak mengenal pergaulan yang baik, yaitu Kajian.

Awal di kajian aku memilih untuk diam, dan memperhatikan situasi dan kondisi kajian. Di samping itu aku juga survey ke beberapa tempat kajian di Mesir ini. Dari kajian orang hitam, putih, dan nano-nano, ternyata memang tidak ku temukan anggota kajian seindah anggota kajian Nun Center.

Di kajian aku jarang mendengar sindiran, aku selalu didukung, selalu semangat. Ada banyak manfa'at yang kutemukan di Kajian Nun. Di kajian aku bertemu macam-macam kegemaran setiap orang. Ada sastrwannya yang udah sampai tingkat dewa. Ada spritualis yang dalamnya melebihi dalamnya samudra. Ada yang  sukanya sistematis, cerdas, praktis, dan komunis. Ada yang pintar verifikasi. Eh, ada juga lo seorang Musisi. Ada yang suka meledek dan diledek.. Haha… berkumpul dengan mereka seperti berlatih menari di atas kaca. Semua bahan tertawaan pun bagi ku mengandung ilmu, di samping itu aku mulai membuka mata untuk IKPM. Dari sini aku menemukan kecocokan dengan komunitas ini. Ya, sepertinya karena aku juga karena alumni Gontor,aku cepat sekali nyambung dengan mereka. Ah… apalagi dua guru yang selalu mengeluarkan ide, ilmu, dan nasehat-nasehat yang brilian bagiku. Tapi sayang keduanya sudah berjuang di Indonesia.

Di kajian aku belajar kebijaksanaan, kesungguh-sungguhan, persahabatan, kecintaan ulama, dan…… Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan Nun center secepat ini. Aku hanya kehilangan guru yang menunututku, kata pepatah " Man akhada ilmin bila syaikhin kana syaikhuhu syaithon". Karena menurutku jika tidak ada guru yang mengajariku sesuai dengan tujuanku. Aku gampang sekali goyah, aku pasti akan selalu ngikut, walaupun selamanya aku memang pengikut. Tapi sudah lah…. Aku putuskan untuk mundur. Mungkin in yang terbaik….

Terakhir, "Karena kebodohanku, semua orang pintar di sekelilingku menjadikanku pintar." Terimakasih untuk mereka... =D

Rabu, 06 November 2013

Wanita Buta Kata (Inspirasi kacau Pare)


Dapatkah alam mengajariku lagi.. gunung tinggi di ngarai masih bisakah mengajarkan perjungan untuk sampai puncak?, atau aku memang tidak pantas ada di sana?...

Biasanya jika liburan weekend kurus English tiba, selepas subuh kami sudah bersiap lari menghirup  kota Pare. Tapi hari ini berbeda, tiba-tiba ia menarik lenganku masuk pada sebuah angkot biru. Aku hanya diam membiarkan kendaraan umum itu membawa pagiku.

Sejam berlalu, kami sampai di puncak gunung Kelud.  Kami duduk selonjoran, kemudian ia mendongak sambil menunjuk-nunjukan jarinya. Lihatlah!.. kabut pagi begitu lebat sampai-sampai susah membedakan mana kabut mana embun. Gunung yang sekarang bersama kita juga kokoh tak pernah tergoyahkan oleh asap, kabut, embun, hujan, atau sedikit gempa. Burung-burung juga bercuit di angkasa bebas. Pohon-pohon hijau juga masih berjejer rapi menantikan tumbuh menjulang rata. Pagi itu, ia mengajariku bermidatasi dengan alam. Beradaptasi pada gunung. Berbicara dengan burung.

Perjalanan pulang  aku hanya diam dan membiarkan pergelangan otakku dikitari ribuan kata. Hasil kontemplasi ku pagi itu memuntahkan kata. Tiba-tiba aku ingin menulis. Ternyata tanpa sadar, dia juga mengajariku merangkai kata. Karena sebelumnya ,  aku bukanlah pujangga dan tidak bisa bermetafora. Itulah awal aku berkenalan dengan kata. Kini bagiku seakan dunia tersirat ribuan kata yang perlu disingkap tabirnya.
________________
 “Aku ingin berhenti bermimpi jadi wartawan! .” Dia setengah kaget dan berhenti menyeduh wedang jahe buatan ibu pedangang kaki lima di menara Gumul malam itu. Bukankah jadi wartawan dulu impianmu!!... Bukankah kau ingin dikenal lewat tulisan!..  “Entahlah Dim” keluhku,  aku sulit menjelaskannya.. Kala pagi aku selalu bingung dan ambivelansi  kata menjadi breakfestku selalu. Aku kesal.

Bayangkan saja, saat ini aku harus menghafal berlembar rumusan Toefl. Aku tidak boleh salah lagi membedakan antara Transitive dan Intransitive. Ia berbeda dengan fi’il lazim dan muta’addi yang kau kenal. Aku juga tidak boleh ditegur tutor ku lagi, karena  “Is” yang sebenarnya verb aku jadikan subjek. Aku tidak ingin ditegur  teman sebelahku karena kebanyakan melamun. Aku harus fokus mendengarkan listening. Aku harus kilat memahami reading. Percuma, aku tetap saja tak bisa fokus.

"Ah, aku ingin mewujudkan impian orangtuaku untuk masuk Universitas bergaya Internasional itu! Kenapa malah susah menghafalnya, karena yang ku ingat hanya kata, sahabat yang kau kenalkan padaku di puncak Kelud lalu. Ketika ku menghafal, bukan rumusan itu yang ku tangkap.  Tapi kata lain yang  malah hadir di benakku, mengapa tutor itu mengajar dengan teori seperti itu?

Belum lagi, tiap sore setelah kursus aku mengayuh sepeda ke surau bertemu adiikku. Untuk memberi semangat agar dia tetap putus asa mengaji dengan gurunya. Tapi setelah aku mengenal sahabatmu itu, aku bukan bertemu adikku. Tapi malah merenung di depan alat pentungan azan. Dan bertanya lagi pada kata, “Kenapa ia bisa terbuat dari kulit binatang dan menghasilkan bunyi?.

Lama lagi aku pulang dengan rumah yang sudah berantakan acak-acakan. Kakakku angkatku pulang hanya ketika lapar dan ingin uang. Jika keinginan tidak terkabul, dia akan merusak beberapa barang antik rumah. Ah.. Laki-laki memang suka emosi tak jelas. Susah untuk diajak berdiskusi dengan wanita. Memang lelaki selalu  measa paling kuat, tapi banyak yang salah menyikapi kekuatannya.
-------------
Aku berlari riang ke kosan Dimas, untuk mengabarkan bahwa tulisan ku diterima jadi wartawan di Koran Harian Repulika. Hasil tulisanku yang selalu tiap minggu kukirimkan mendapat apresiasi khusus. Tapi harapku pupus. Dimas yang setahun belajar bahasa inggris sudah pergi dua hari yang lalu meninggalkan kampung Inggris. Tak ada kabar tentangnya. Kali ini aku mulai yakin, karakter laki-laki itu. Sepertinya semua lelaki begitu. Dia tak pernah menjelaskan mengapa kata yang A dulu bisa berubah menjadi B. Sampai saat ini dia tidak pernah mengatakan alasan-alasan mubham itu sedikitpun. Dia juga tak pernah memberitahukan, mengapa ia mengajariku menulis dengan metode kuno itu. Yang aku tahu dia pernah menjadi Pimpinan di sebuah majalah tak begitu terkenal.Kursusku juga luntang-lantung tak terarah, karena aku suka 'ngeyel' dan membantah orang tua memaksakan keinginan ku sebagai penulis. Semua impianku pupus...

Aku ingin membutakan mataku, agar kata tidak lagi suka bertengger di pergelangan otakku. Agar aku tak dapat lagi melihat alam, raut populitas manusia, globalisasi dunia. Aku hanya diam. Biarkan aku mengubur di tanah kering di belakang rumah bertaman ubur. Biarkan alam memilihkan pilihan kehidupan untukku. Karena aku hanya wanita lemah yang telah dibutakan kata, yang ingin dipilihkan bukan ingin memilih.  Aku hanya berharap menjadi tebing di tepian laut. Jika ada goncangan, air laut masih bisa menerimaku menjadi sahabatnya. Walau mungkin esok dan nanti, entah aku masih di bawah, atau.... Hanya aku dan Tuhan yang tau.

Tangismu tak kan Pernah Terdengar


Tidak ada yang istimewa dari pentas seni tadi malam. Tari tradisional arabnya juga tidak mengundang gelak tawa. Shalawatan pembuka juga tak jauh beda dari tahun lalu. Yang mengesankan bagiku hanya kotakan dan sambal (Smart bereng lenong), mungkin karena lapar menggerogoti perutku. Semua penilaian tentang acara itu, tak lain karena kau dari tadi hanya diam tak bersuara. Seakan pikiran dan tubuhmu tertawan suasana.


Kemudian aku beranjak sebentar untuk melihat panggung lebih dekat. Melihat pertunjukan dari jelas. Benarkah semua itu membosankan?. Hmm... tidak juga, aku menerka. Kembali ku berbalik arah dan bersua dengan teman lama. Cipika-cipiku bareng beberapa jam dengan mengenang indah masa lampau. Ups.. aku lupa bahwa kau tertinggal di belakang panggung. Kau sendirian menonton pentas seni itu dengan layar tancap, bersama penonton yang tidak kebagaian kursi. Sebab keramaian tidak mungkin untuk menampung beribu penonton.

Teringat kau, aku bergegas kembali. Saat kembali, tetap masih diam. Kau tak mengeluarkan sepatah katapun, setidaknya mengomentari pagelaran yang dirasa membosankan itu. Aku curiga ketika kau menatap nanar matamu pada pemain itu. Lalu butiran air menggenang di pelupuk matamu. Entahlah, mungkin kau sudah mulai terbawa haru drama. Terharu karena syekh dalam drama itu meninggal. Aku mengira.

Pagi-pagi kau telah bertengger di depan bangku biru. Menungguku membawa bungkusan nasi goreng untuk makan pagi kita. Dipertengahan, kau  menggurutu  dan mulai muak dengan waktu. Kau mulai ketakutan. Aku sedikit terkekeh, karena kau juga menyita jatah makan ku. Ya kau pasti selalu kekurangan ketika makan. Tapi biarlah asal kau senang.

Malah bukan senang, tangismu berderai lagi. Aku  mulai geram. Kata-kata mulai keluar berjejer dari mulutku. "Sudahlah isakmu tak akan pernah habis. Jeritmu tak akan pernah terdengar. Sesalmu tak berguna. Karena kau hanya diam, membiarkan waktu membunuh mimpi dan citamu.

Ya mungkin kau lebih dulu tau. Bahwa kapal yang kuat itu, akan terus diterpa angin kencang  yang datang dari arah berlawanan. Pasak itu, harus kau tancapkan lebih dalam agar tendamu berdiri kokoh. Bukankah itu dulu petuahmu ketika ku putus asa?

"Sudahlah tak usahlah kau pikirkan kicau beo. Anggaplah itu hanya debu yang berterbangan kemudian digerus hujan. Jadilah seperti unta yang tak pernah mengeluh karena haus di tengah padang pasir panas."

Aku bermimpi hadir di yudisium kelulusanmu nanti. Hari dimana sejarah mencatat bahwa kau dan hujan pernah menangis. Kau dan sampah plastik pernah terbuang. Dan hari itu juga, air hujanmu kembali menguap ke angkasa raya. Sampahmu sudah didaur ulang dan bermanfa’at untuk manusia.

Kau tau mengapa ku begitu yakin dengan ketabahan hatimu? Karena kita tak jauh beda.

Semangatilah hari mu dengan zikir dan usaha. Karena ikhlas membuat keduanya menjadi do’a.

Never give up semoga kita dapat bertemu kembali. Kemudian  kau dan aku sama2 tertawa. :)

Minggu, 15 September 2013

Mengkaji Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Part 1)

Minang adalah suatu budaya yang terlahir dari daerah Sumatera Barat atau lebih jelasnya bernama Minangkabau. Awalnya, Minangkabau telah tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh animisme, dinamisme, Hindu dan Budha. Kemudian datanglah ajaran Islam yang dibawa perantau dari luar daerah Sumatera Barat semisal, Buya Hamka, Khatib al-Minangkabau dan tokoh-tokoh Islam lainnya.

Buya Hamka, yang merumuskan sintesis ini telah banyak menghasilkan kepercayaan beragama dalam masyarakat minang. Dan ketika itu juga adat yang berkembang juga sangat kuat. Adat yang merupakan sistem nilai, dasar dari penilaian etis, hukum dan sosial. Adat kemudian mewujudkan pola perilaku ideal. Dari sinilah, Buya Hamka melahirkan pepatah “Adat Basandi Syarak, syarak basandi Kitabullah." Syarak mangato adat mamakai.”

Rumusan sintesis ini sudah lama dipertanyakan, “Apakah benar adat itu basandi syarak?,” tetapi kenapa masih banyak penyelewengan, hak waris, dan Matrealisme?.

Dalam hal ini Buya Hamka telah membantah dalam bukunya yang berjudul “ Adat dan Islam” yang pernah diterbitkan secara bersambung di majalah Panji Masyarakat. (Sampai saat ini, saya juga belum pernah melihatnya. Semoga bisa bersua dengan  buku tersebut)

Sedikit berbicara soal ini, saya sempat ngobrol santai dengan paman yang kebetulan merupakan seorang Pemimpin, Datuak dan juga Ulama. Beliau menjelaskan, untuk menghadapi hal ini kita harus memakai sistem musyawarah, karena suatu masalah tidak akan selesai jika tidak dengan musyawarah. Yaitu dengan menghadirkan ulama, pemimpin, dan datuak (sebagai pemimpin adat).  Ini terkait masalah hak waris yang harus menyamakan persepsi antara ketiganya.

Tentang pelamaran perempuan dalam  minang, mari kembali berkaca pada peminangan Siti Khadijah pada Rasulullah SAW.  Jadi, masih ada yang memakai dalil yang membolehkan pelamaran wanita atas lelaki. Tetapi saya sendiri juga masih belum menerima statemen ini, harus ada dalil yang lebih kuat lagi, karena saya sih maunya dipinang bukan meminang. J

Menurut beliau juga, bahwa adat minang sudah banyak berlandaskan syari’at, hanya saja yang paling keliatan menyimpang adalah hak waris dan matrealismenya.  Juga orang minang sejauh manapun merantau, jika ia memiliki rasa yang tinggi terhadap kampung halamannya, itulah yang disebut dengan orang minang sejati.

Mungkin segitu dulu yang saya tangkap hasil obrolan semata, semoga nanti dapat menemukan yang lebih rajih dari buku. J


Anda Membeli, Anda beramal



Slogan ini biasa tertempel di koperasi pelajar, di pondok dulu. Awalnya saya hanya memercayainya tanpa paham arti dari maksud kata tersebut. Jika kita membeli otomatis kita beramal, itu saja. Saya hanya menerka, bisa jadi juga terkait alasan kenapa Rasulullah SAW menyenangi perniagan/perdagangan sebagai penghasilan harian.
   
Frase ini baru terasa maknanya ketika saya berbelanja di sebuah toko, pasar, atau swalayan. Awalnya kita memang harus memilah dan memilih barang yang  diperlukan dan yang sesuai dengan kapasitas uang saku. Tetapi mungkin kita agak menyesal ketika barang yang telah kita beli itu  ditemukan lebih murah di toko lain. Kita kesal, mengapa bisa seceroboh itu.Tapi ingatlah, anda membeli anda beramal. Uang yang kita tukar dengan barang yang kita beli itu adalah amalan kita, tak perlulah kita menyesal dan mengungkitnya kembali, toh sudah berubah menjadi amalan, mari ikhlaskan. J
# Sedikit nasehat untuk jiwa yang suka hitung-hitungan. J