Kamis, 04 Juli 2013

Nikmat yang tak akan Habis

Pantai Matruh, 24 Juni 2013, 11:02 am

“Berdiri beberapa jengkal saja, tak di basahi air”, bisik Nela sambil menatap dari kejauhan laut.
Akhhh… “Apa ini!!” jeritku kesakitan. Dua kelajengking sudah merayap menggelikan di atas kaki ku.
“Huh… dasar kalajengking tidak berprikemanusiaan”.. (ya iyalah wong dia hewan jeeell). Aku menyerungut.
Awalnya aku tak ingin melepaskan sepatu, tapi lumpur licin itu menggodaku. “Mau pilih mana? Pakai sepatumu atau tergelincir karena ku?”. Ya jelaslah aku tak ingin tergelincir.
“Hei!! Lihat itu.. Cleopatra mandi dan membersihkan diri di bawah batuan besar, apa itukah yang dinamakan Hamam Cleopatra?”, semburat wajah riang Joha, lantas berlarian di tengah gemersik ombak. Lagi-lagi ombak  menampar, menggoyahkan badanku hampir gentar. Ah.. nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan??. Angin berbisik.
Matruh, warna airnya biru bening sampai ke dasar. Jika dilihat dari kejauhan, makin ketengah warna laut menjadi biru muda pekat. Kerikil dan pasir lembut , bak gula yang disirami air panas. Teringat bila hendak membuat teh di asrama. Semua itu simbolis keindahan pantai Matruh. Mengalahkan semua pantai yang pernah ku kunjungi. Kolam berenang yang ada di hotel seribu bintangpun, kalah saing.

                                          
   
Siang itu, kami tiba di Matruh setelah macet beberapa jam karena menunggu antrean bensin. Rombongan kami berjumlah 32 orang yaitu gabungan antara dua kewarganegaraan, Malaysia dan anggota Meyzer dari Indonesia. Meyzer angkatan Mahasiswa tahun kedatangan 2011 di Mesir.
Selepas Matruh, mobil melaju menuju Siwa. Sebelum sampai di Siwa, kami singgah di pantai salju bila dilihat dari kejauhan. Eits.. tapi jangan salah itu bukanlah salju sepenglihatan kita. Itu adalah pantai garam. Konon katanya, jika musim panas begini, garam membeku di atas permukaan pantai. Eh, ternyata  belum semuanya  kering, banyak ranjau. Membuat sepatu berkubang garam. Lantas badan yang terkena garampun perih rasanya, apalagi dalam keadaan terluka.
“Huh.. lihat! Di tengah pantai garam ini, masih ada yang menyempatkan diri untuk shalat di atasnya.”  Desis Nela, haru.  Setelah puas berfoto ria kami melanjutkan perjalanan ke Siwa.

Siwa,  24 Juni 2013, 03.40 am
Siwa merupakan daerah tentram di antara daerah-daerah yang ada di Mesir. Masyarakatnya ramah dan berpakaian putih bersih. Tak jarang kelihatan perempuan berkeliaran. Kabarnya, terdapat 12 kabilah di Siwa. Setiap tahunnya, mereka mengadakan pesta. Biasanya mereka sebut ‘Aid Siyahah’. Dalam upacara ini, terdapat pemimpin pada setiap kabilah. Di sini juga semua permasalahan pribadi maupun masyarakat dikeluhkan kepada pemimpin setiap kabilah, untuk diberi jalan keluarnya.
Pohon kurma bertebaran di Siwa, begitupun pohon Zaitun. Batang pohon zaitun digunakan untuk dijadikan arang. Terasa setiap potongan daging yang disate, berbeda dengan sate biasanya. Kata si penjual, pohon itu banyak terdapat karbohidrat dan bermanfa’at bagi kesehatan. Di sini tidak dialiri oleh sungai nil. Di mana-mana terdapat mata air. Hingga ikan juga hidup tentram di belahan mata air yang ada. Mata air ini disebut ‘Uyun Cleopatra’.

Siwa, 25 Juni 2013, 10.00. am

Pagi-pagi kami sudah diteriaki oleh sang Ketua untuk bergegas makan dan menuju bus. Di perjalanan nampak pohon kurma dan zaitun yang banyak lagi rindang. Kami menelurusi jalan setapak Jazirah Vatnas.
“Argh.. “!! Akbar meloncat kegirangan setelah melihat sumur di tengah hutan unik itu. Melepas atribut badan, dan menyelam di permukaan. Di antara rombongan kami, hanya dia yang berani menyelami sumur itu. Memang sumur itu tidaklah dangkal. Harus orang yang mempunyai keahlian berenang yang di jamin selamat.
Pertengahan perjalanan, kami diceritakan tentang ‘Ainu Urusah”. Kabarnya, mata air ini membuat yang berenang di dalamnya akan merasakan ketentraman berumah tangga. Ya, bagi yang belum menikah, agar lekas menemukan jodohnya. Namun sayang seribu sayang, waktu tidak bisa berkompromi. Akhirnya kita hanya bisa melihat dari kejauhan, mereka yang riang berenang.

Dhuhur usai, kita beralih pada kenikmatan selanjutnya, yaitu Jet Coster. Aku mendapat mobil pertama, berkilap. Sepertinya  mobil terbaru yang baru saja dipasarkan. Mobil melaju menuju padang pasir. Mari kita bayangkan Film liga emas, yang bermain dengan musuhnya di padang pasir yang tandus. Atau film The Message, yang bercerita tentang perjuangan Rasulullah SAW dalam peperangannya. Sungguh menakjubkan kawan. Serasa aku tak ingin lagi menaiki Jet Coster yang ada di ancol Jakarta untuk selanjutnya. Aku puas.
“AAAaaaaa”… Lagi-lagi teriakan histeris teman-teman yang terdengar. Mobil mendaki lalu menanjak turun terhempaskan. Sungguh nikmat Tuhan yang indah. Di tengah padang pasir, masih terdapat mata air. Di pelajaran Geografi KMI, dinamakan Oase. Air segar membuat ikan-ikan betah hidup di sana.
Melihat sunsite di tengah padang pasir, sungguh roman yang indah. Di tambah lagi seduhan teh niknak alami buatan sopir. Berikutnya, kami bermain pasir dengan lajuan ski. Sebagai perempuan kami tak sanggup memainkannya sambil berdiri, haruslah duduk dan butuh didorong terlebih dahulu.
Habis berlumuran debu pasir, malamnya kami bertengger di benteng Swiss, membicarakan permasalahan angkatan. Esoknya kami persiapan pulang. Terakhir, kami berenang di pantar Romel. Tiba di Kairo jam dua lebih setengah. Sebenarnya masih banyak lagi keindahan yang ingin dituliskan. Tapi mungkin tak cukup untuk dituangkan di sini. Ah… nikmat yang tak akan habis.