Biasanya jika liburan weekend kurus English tiba, selepas
subuh kami sudah bersiap lari menghirup
kota Pare. Tapi hari ini berbeda, tiba-tiba ia menarik lenganku masuk
pada sebuah angkot biru. Aku hanya diam membiarkan kendaraan umum itu membawa
pagiku.
Sejam berlalu, kami sampai di puncak gunung Kelud. Kami duduk selonjoran, kemudian ia
mendongak sambil menunjuk-nunjukan jarinya. Lihatlah!.. kabut pagi begitu lebat sampai-sampai susah membedakan
mana kabut mana embun. Gunung yang sekarang bersama kita juga kokoh tak pernah
tergoyahkan oleh asap, kabut, embun, hujan, atau sedikit gempa. Burung-burung
juga bercuit di angkasa bebas. Pohon-pohon hijau juga masih berjejer rapi
menantikan tumbuh menjulang rata. Pagi itu, ia mengajariku bermidatasi dengan
alam. Beradaptasi pada gunung. Berbicara dengan burung.
Perjalanan pulang aku
hanya diam dan membiarkan pergelangan otakku dikitari ribuan kata. Hasil
kontemplasi ku pagi itu memuntahkan kata. Tiba-tiba aku ingin menulis. Ternyata
tanpa sadar, dia juga mengajariku merangkai kata. Karena sebelumnya , aku bukanlah pujangga dan tidak bisa
bermetafora. Itulah awal aku berkenalan dengan kata. Kini bagiku seakan dunia
tersirat ribuan kata yang perlu disingkap tabirnya.
________________
“Aku ingin berhenti
bermimpi jadi wartawan! .” Dia setengah kaget dan berhenti menyeduh wedang jahe
buatan ibu pedangang kaki lima di menara Gumul malam itu. Bukankah jadi
wartawan dulu impianmu!!... Bukankah kau ingin dikenal lewat tulisan!.. “Entahlah Dim” keluhku, aku sulit menjelaskannya.. Kala pagi aku
selalu bingung dan ambivelansi kata
menjadi breakfestku selalu. Aku kesal.
Bayangkan saja, saat ini aku harus menghafal berlembar
rumusan Toefl. Aku tidak boleh salah lagi membedakan antara Transitive dan
Intransitive. Ia berbeda dengan fi’il lazim dan muta’addi yang kau kenal. Aku
juga tidak boleh ditegur tutor ku lagi, karena
“Is” yang sebenarnya verb aku jadikan subjek. Aku tidak ingin
ditegur teman sebelahku karena kebanyakan
melamun. Aku harus fokus mendengarkan listening. Aku harus kilat memahami
reading. Percuma, aku tetap saja tak bisa fokus.
"Ah, aku ingin mewujudkan impian orangtuaku untuk masuk
Universitas bergaya Internasional itu! Kenapa malah susah menghafalnya,
karena yang ku ingat hanya kata, sahabat yang kau kenalkan padaku di puncak
Kelud lalu. Ketika ku menghafal, bukan rumusan itu yang ku tangkap. Tapi kata lain yang malah hadir di benakku, mengapa tutor itu
mengajar dengan teori seperti itu?
Belum lagi, tiap sore setelah kursus aku mengayuh sepeda ke
surau bertemu adiikku. Untuk memberi semangat agar dia tetap putus asa mengaji
dengan gurunya. Tapi setelah aku mengenal sahabatmu itu, aku bukan bertemu
adikku. Tapi malah merenung di depan alat pentungan azan. Dan bertanya lagi
pada kata, “Kenapa ia bisa terbuat dari kulit binatang dan menghasilkan bunyi?.
Lama lagi aku pulang dengan
rumah yang sudah berantakan acak-acakan. Kakakku angkatku pulang hanya ketika
lapar dan ingin uang. Jika keinginan tidak terkabul, dia akan merusak beberapa
barang antik rumah. Ah.. Laki-laki memang suka emosi tak jelas. Susah untuk
diajak berdiskusi dengan wanita. Memang lelaki selalu measa paling kuat, tapi banyak yang salah menyikapi kekuatannya.
-------------
Aku berlari riang ke kosan Dimas,
untuk mengabarkan bahwa tulisan ku diterima jadi wartawan di Koran Harian
Repulika. Hasil tulisanku yang selalu tiap minggu kukirimkan mendapat apresiasi
khusus. Tapi harapku pupus. Dimas yang setahun belajar bahasa inggris sudah
pergi dua hari yang lalu meninggalkan kampung Inggris. Tak ada kabar
tentangnya. Kali ini aku mulai yakin, karakter laki-laki itu. Sepertinya semua lelaki begitu. Dia tak pernah menjelaskan
mengapa kata yang A dulu bisa berubah menjadi B. Sampai saat ini dia tidak
pernah mengatakan alasan-alasan mubham itu sedikitpun. Dia juga tak pernah memberitahukan, mengapa ia
mengajariku menulis dengan metode kuno itu. Yang aku tahu dia pernah menjadi
Pimpinan di sebuah majalah tak begitu terkenal.Kursusku juga luntang-lantung
tak terarah, karena aku suka 'ngeyel' dan membantah orang tua memaksakan
keinginan ku sebagai penulis. Semua impianku pupus...
Aku ingin membutakan mataku,
agar kata tidak lagi suka bertengger di pergelangan otakku. Agar aku tak dapat
lagi melihat alam, raut populitas manusia, globalisasi dunia. Aku hanya diam.
Biarkan aku mengubur di tanah kering di belakang rumah bertaman ubur. Biarkan alam memilihkan
pilihan kehidupan untukku. Karena aku hanya wanita lemah yang telah dibutakan kata,
yang ingin dipilihkan bukan ingin memilih. Aku hanya berharap menjadi tebing di tepian
laut. Jika ada goncangan, air laut masih bisa menerimaku menjadi sahabatnya.
Walau mungkin esok dan nanti, entah aku masih di bawah, atau.... Hanya aku dan Tuhan yang tau.