Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang
paling mulia. Makhluk mulia yang menyanggupi untuk menjadi khalifah di bumi,
setelah makhluk lainnya tidak dapat memikul beban berat itu. Makhluk mulia yang
dihormati penciptaannya oleh para malaikat dan jin. Pada awal penciptaannya,
manusia juga diiajarkan oleh Allah SWT nama-nama benda yang belum pernah
diketahui oleh makhluk Allah sebelumnya.
Berbicara tentang manusia,dalam buku
Bidayah al-Hidayah, Imam Al-Ghazali membagi manusia menjadi tiga
tingkatan. Pertama, manusia mulia yang sederajat dengan malaikat, yaitu mereka
yang selalu berbuat baik dan hati mereka selalu tentram. Kedua,
manusia yang sepadan dengan hewan dan benda mati, yaitu mereka yang sekedar
berbuat kebaikan dan juga sekedar berbuat keburukan. Ketiga, manusia yang
sepadan dengan kalajengking, ular, dan binatang buas lainnya, yaitu mereka yang
tidak akan pernah berbuat kebaikan dan tidak berhenti melakukan keburukan.
Dapat kita lihat dari ketiga tingkatan di
atas, bahwasanya sifat ini masih umum. Jika kita komparasikan dan perhatikan
dengan berbagai fenomena yang ada di sekitar kita, pada setiap tempat dan
waktu, manusia pada hakikatnya memiliki sifat mengeluh dari beribu keadaan. Miskin mengeluh, kaya mengeluh, sakit
mengeluh, sehat mengeluh. Galau, risau, gundah, sedih sering kali mengusik
kalbunya. Apabila
sifat keluh ini terus menumpuk maka pada akhirnya jiwa, hati dan ucapan tidak
dapat lagi terkontrol. Akibat keputusasaan akan hidup itu, banyak manusiayang
menyalahkan-artikan keburukan tersebut, seakan semuanya sudah takdir yang diberikan
Allah SWT padanya. Mereka berkata, “Toh, saya jadi pencuri, korupsi,
pembunuh, pezina ini kan sudah takdir Tuhan, ya sudah terima saya apa adanya!”.
Na’udzubillah, nastaghfirullah.
Melihat fenomena tersebut, ada baiknya kita
memahami konsep af’alul ibad, sebelum prasangka buruk tersebut menggerogoti
hati dan pikiran kita.Dalam persoalan ini, Syekh al-Syahid Ramadhan al-Buthi
mencoba memberi pencerehan dalam bukunya Al-Insan Musayyar am Mukhayyar?
(Human Compelled or Free?). Buku ini membantah keyakinan yang dianut oleh
madzhab Qadariyah yang berkeyakinan bahwa manusia bebas berkehendak tanpa batas
dantanpa didahului ilmu Allah SWT, dan Jabariyah yang berkeyakinan bahwa
perbuatan manusia merupakan paksaan (diciptakan) oleh Allah SWT dan manusia
tidak mempunyai kebebasan berkehendak. Syekh al-Buthi juga mengutarakan pendapat Mu’tazilah
yang menisbatkan sifat buruk kepada Allah SWT, yang menyamakan antara arti berbuat
buruk dan menciptakan sifat buruk.
Insan Mukhayyar
Sebelum kita mengabsahkan bahwa manusia
adalah mukhayyar, ada baiknya kita memahami apa itu mukhayyar dan
apa itu musayyar (Idhtiroriyah).
Manusia musayyar berarti semua
perbuatan manusia yang bukan didasari keinginan mereka.Seperti bersin, gugup,
sakit, kelahiran, kematian dan terjatuh tanpa alasan. Ini sama artinya dengan
pohon yang digerakan oleh angin, perputaran orbit di angkasa, semuanya telah
menjadi ketetapan Ilahi Rabbi.
Yang jadi persoalan di sini adalah, apakah
manusia itu Mukhayyar? Mukhayyar berarti manusia memiliki
keinginantersendiri yang berbuah tindakan. Seperti keinginan manusia untuk
menegakkan shalat, mengerjakan suatu amalan, dan hal lain sebagainya
yang dilakukan atas dasar keinginan.
Dari sinilah kebanyakan manusia menganggap
semua perbuatannya telah ditetapkan Allah, semua sudah takdir. Mereka belum
dapat membedakan mana perbuatan yang musayyar dan mana yang mukhayyar. Manusia
dikatakan mukhayyar, ketika Allah telah menciptakan manusia dalam
keadaan suci, kemudian dia diberi akal untuk dapat memilih antara kebaikan dan
keburukan.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra,
Rasulullah SAW bersabda: “Manusia diciptakan dalam keadaan suci, sedangkan
bapaknyalah yang menjadikan iaNasrani, Yahudi, dan Majusi.”Dari hadis ini,
dapat kita pahami bahwa Allah sudah menjadikan manusia suci pada awal
kelahirannya. Lalu bagaimana jika ia terlahir dari keluarga dan lingkungan
kafir?. Di sinilah peran akal dan ilmu menjadi acuan manusia mendapatkan
hidayah. Karena Allah memberi hidayah kepada siapa yang Ia Kehendaki. Sering
pula kita dengar berapa banyak muallaf yang masuk islam sedang ia berasal dari
keluarga kafir,
Allah menciptakan alam beserta isinya,
mentakdirkan kelahiran dan kematian, menciptakan kebaikan dan
keburukan. Bermaksud agar manusia selalu berfikir dan terus mencari hikmah dari
semua penciptaan ini. Dari sini peran manusia untuk memilih antara kebaikan dan
keburukan.
“Bukankah Kami telah memberikan
kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. dan Kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan (Kebaikan dan keburukan)”. (QS. Al-Balad: 8-10)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.(QS. Al-Syams: 7-8)
Permisalan ini dapat kita analogikan kepada
guru yang menguji muridnya ketika ujian. Sang guru pasti selalu berharap
keberhasilan muridnya, dengan selalu berdo’a dan mengerahkan seluruh tenaga
untuk mengajarkan ilmu demi keberhasilan muridnya. Namun pilihan di tangan
murid. Muridlah yang memilih antara keberhasilan dan kegagalan. Jika ingin
berhasil, maka ia pasti akan berusaha dengan gigih. Sebaliknya jika ia malas
belajar maka kegagalan pulalah yang akan diperoleh.
Di sini manusia diuji dengan segala
sarana-sarana yang diberikan Allah untuk kebaikan hambanya. Karena sejatinya
Allah tidak ingin hambanya berada dalam kesesatan. Maka manusia hendaknya
bersungguh-sungguh untuk mencapai jalan kebenaran tersebut. Kebenaran yang
diyakini oleh hati nurani, dengan akal sebagai alat berfikir, dan ilmu sebagai
pembuka kunci kebenaran tersebut.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembali” (QS.
Al-Anbiya’: 35).
“Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan.dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.(QS.al-Baqarah:155).
Mengenai hal ini, Mu’tazilah mengibaratkan
bahwa siapa yang menciptakan keburukan, maka ia juga memiliki sifat buruk.
Ibarat ini dinisbatkan pula pada Tuhan yang Esa.Ini merupakan kebatilan yang
tidak dapat diterima akal. Jelas sudah bahwasanya menciptakan keburukan bukan
berarti sang pencipta memiliki sifat buruk.
Selain itu Allah SWT juga menciptakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia baik eksternal maupun internal.
Secara internal, manusia diciptakan dengan organ, darah dan semua
patikel-partikel yang terdapat dalam tubuh manusia. Lalu diberi pula energi
agar manusia berpotensi untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan dari segi eksternalnya, Allah
SWT menciptakan untuk manusia faktor luar yang menjadi penunjang keinginan manusia,
seperti pena untuk menulis, piring untuk makan, udara untuk bernafas dan lain
sebagainya. Kemudian manusia diberi kenikmatan berkeinginan memilih antara
keburukan dan kebaikan, dengan beraksi dan berinteraksi dengan segala yang
Allah ciptakan untuknya.
Allah SWT juga menciptakan mata batin untuk
manusia. Jika ia selalu memupuk kelakuan buruk, maka mata batin itu akan keruh
bahkan saking keruhnya Allah menutup hati itu, hingga sulit untuk dimasuki
sinar hidayah-Nya. Mereka sulit untuk mencapai kebenaran. Mengapa dapat terjadi
demikian?.Sebabmereka selalu tunduk pada nafsu.“Dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS.Al-Kahfi 57).
Namun jika manusia selalu berusaha mencari
kebenaran itu, maka Allah akan menerangi jalan kebenaran baginya.“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Al-Ankabut: 69)
Nafsu diciptakan Allah dalam bentuk
keburukan sedangkan hati diciptakan dalam bentuk kesucian.Semua diberikan
pilihan kepada manusia, untuk mengikuti keburukan yang diselubungi hawa nafsu
atau kebaikan hati yang disinari cahaya Allah. Nafsu juga lebih berbahaya dari
pada bisikan syetan. Karena nafsu berada dalam diri manusia, sedang setan hanya sebagai
faktor pendorong nafsu.
Dengan adanya kebaikan dan keburukan ini,
Allah memerintahkan kepada manusia untuk selalu berlomba dalam kebaikan, “Berlomba-lombalah
dalam kebaikan” (QS. al-Baqarah 148), berlomba mencintai yang Maha Cinta
dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.Hingga akhirnya
Allah hadiahkan bagi hamba-Nya yang pantas, Apakah itu surga atau neraka, atau
bukan keduanya. Hanya Allah yang tahu. Pun jika Allah berkehendak, maka Allah ciptakan manusia semuanya beriman pada-Nya.“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?”(QS. Yunus: 99).
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Tuhanmu.dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahanam
dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud: 199)
“Katakanlah:
"Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia menghendaki,
pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (QS. Al-An’am:
139)
Setelah Allah menciptakan segala unsur yang
ada pada manusia, serta keinginan manusia sendiri untuk melakukan suatu tindakan. Maka,
dari keinginan manusia tersebut muncullah suatu tindakan (kasb). Dalam
al-Qur’an, kata kasbdiartikan sebagai tindakan hati.”, “Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”( QS.Al-Baqarah 225). Jika terdapat ayat al-Qur’an yang menisbatkan kata
“Kasb” kepada tangan, seperti dalam surat as-Syura ayat 30 “Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu, itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu.”Hal ini berarti majaz
‘aqli.Semisal kalimat “Musim semi menyuburkan tanaman”. Dalam kalimat ini
yang menyuburkan bukanlah musim semi tapi Allah yang Maha Kuasa. Jadi ayat
tersebut merupakan majaz.Jadi pada hakikatnya,kata “kasb”dinisbatkan
kepada tindakan hati.
Syekh Buthi juga membedakan antara
keinginan (iradah) dan ridha. Sedang Muktazilah menyamakan antara
keduanya.Iradah berarti suatu gagasan akal yang membuahkan tindakan baik
itu disenangi ataupun tidak. Sedangkan ridha adalah hanya sebatas menggemari
sesuatu. Iradah dan ridha ini seperti umum dan khusus. Kadang menginginkan
sesuatu tapi tidak meridoinya.Pernah juga meridhoi sesuatu tetapi tidak
menginginkannya.Bisa jadi ridha berbarangen dengan keinginan pada suatu.
Perbedaan ini dapat kita lihat kata “iradah” dalam surat al-Fath ayat 11
dan kata “ridho” surat az-Zumar
ayat 7 di bawah ini :
4ö@è%`yJsùà7Î=ôJtNä3s9ÆÏiB«!$#$º«øx©÷bÎ)y#ur&öNä3Î/#
Ñ÷rr&y#ur&öNä3Î/$JèøÿtR4ö@t/tb%x.ª!$#$yJÎ/tbqè=yJ÷ès?#MÎ7yzÇÊÊÈ
(wur4ÓyÌötÍnÏ$t7ÏèÏ9tøÿä3ø9$#ÇÐÈ
Jelas sudah dari kedua ayat di atas,
bahwasanya Allah berkeinginan untuk menciptakan perbuatan baik dan buruk manusia.Tetapi
keridhoan Allah tentunya pada keinginan agar manusia berbuat baik.
Setelah manusia memilki keinginan untuk menta’ati
Allah dan bermaksiat, maka keinginan ini juga berada dalam kekuasaan
Allah.Dalam artian, jika telah tertanam dalam hati manusia untuk melakukan
kebaikan, maka Allah-lah yang berkehendak untuk mentakdirkan kepada manusia
baik itu buruk mapun baik. Begitu juga dengan keinginannya berbuat keburukan,
semua berada dalam kehendak Allah. Dengan kebebasan manusia untuk memilih ini, maka
manusia kadang bermaksiat, kadang ta’at atau kadang ta’at dan maksiat
berbarengan.“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.(QS. Al-Insan: 30). Ibarat seorang
bayi yang dibantu oleh bapaknya ketika ingin mengambil sesuatu. Di sini letak
kelemahan manusia yang tak terlepas dari keinginannya untuk memilih.
Setelah kita pahami bahwa manusia mukhayyar
atas segala tindakannya, lalu bagaimana takdir yang telah ditetapkan Allah di lauhil
mahfudz?,Apakah di antara qadha dan qadar dapat menghapus keinginan (‘azm)
yang ada pada manusia?
Qadha dan Qadar
Memang Qadha secara bahasa berarti hukum yang digunakan untuk menghukumi oleh para ahli hukum. Namun secara terminologi, Qadha
Allah adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada hamba-Nya, tanpa ada
sangkut-pautnya pada keinginan dan pilihan setiap insan. Adapun Qadar berarti,
kemunculan segala sesuatu perbuatan atas dasar keinginan manusia dan sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan di azali.
Oleh sebab itu, Qadha bukanlah segala
ketetapan yang diciptakan Allah pada manusia saja, tetapi ilmu Allah dengan apa
yang terjadi dan yang akan terjadi. Dan ilmu selalu mengikuti pengetahuan. Dalam
artian ilmu Allah tentang segala yang terjadi pada manusia seperti bencana
alam, kematian, kelahiran dan segala musibah yang telah diketahui Allah
sebelumnya, mengikuti keinginan manusia yang berbuah perbuatan manusia yang
diciptakan oleh Allah.Bila dianalogikan, ilmu Allah ini ibarat lentera yang
menerangi semua yang berada di depan mata, hanya saja ilmu Allah ini penerang
bagi hati, akal dan pikiran setiap jiwa. Namun hati manusialah yang berwewenang
untuk memilih.
Qadha dan qadar adalah satu kesatuan yang
telah menjadi sunnatullah. Maka sakit, rezki, keberhasilan, kemenangan, semuanya
adalah qada Allah dan qadar-Nya, yang diselaraskan dengan do’a dan usaha setiap
hamba. Semisal, Allah telah mencatat bahwa fulan nantinya akan sakit jantung.
Di samping itu Allah mengetahui bahwa fulan selalu berdo’a agar terjaga dari
segala penyakit, bisa jadi Allah memberi dia kesembuhan atau sudah ditetapkan
baginya ajal. Oleh sebab itu, tawakal manusia di sini bukanlah tawakal pada
qada’, tapi pada takdir yang telah ditetapkan Allah pada manusia.
“Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’d:
39)
Do’a merupakan senjata ampuh sebagai
penolak bala, kemudian bertawakal pada takdir setelah usaha dan do’a dikerahkan.Dalam hadist yang diriwayatkan Ahmad dan Nasa’I,
Rasulullah SAW.bersabda: Seorang diharamkan bagianya rezki atas maksiat yang
dilakukannya, dan takdir dapat berubah dengan do’a, maka tambahlah sisa umur
dengan kebaikan”. Arti qada dan qadar dalam hadist ini adalah takdir yang direalisasikan
dengan ikhtiyar manusia sendiri.
Dari pemaparan di atas jelas bahwa manusia
memiliki ikhtiyar untuk melakukan apa yang dia ingini. Manusia diuji dengan
segala yang ada di depannya berupa kebaikan dan keburukan.“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.“(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,(QS. al-Hadid 22-23)
Semua menjadi kehendak Allah untuk memberi
hidayah kepada siapapun yang Dia kehendaki.Tapi hidayah pasti akan diberi
kepada hamba-Nya yang ta’at. Begitu juga dengan kesesatan bagi hamba yang
bermaksiat.
“Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu
benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah
maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu
banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak
orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang yang fasik, “Yaitu orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah
sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.
mereka Itulah orang-orang yang rugi.Dan Allah tidak akan membebani bagi
hamba-Nya yang berusaha. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. al-Baqarah:
286)
Telah banyak Allah memberi dalil atas
Kuasa-Nya. Apalagi Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia,
sudah banyak berbicara tentang kebenaran dan pekerjaan yang diridhoi Allah. Di
tambah lagi dengan diangurahkan kepada umat manusia insan mulia, yaitu Baginda
Rasulullah SAW. Maka haruslah bagi manusia untuk selalu berjihad mencari
kebenaran tersebut. Agar hidayah Allah selalu menuntun kepada kebaikan. Karena
kebaikan dan kebenaran akan berujung kepada keburuntungan manusia itu sendiri.
“Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk
dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.(QS. al-Ankabut: 6). Oleh karena
itu marilah kita selalu mengingat Allah agar hati kita dapat teriringi dengan
cahaya kebenaran. Hati, akal dan
pikirannya akan selalu tentram. Sebab barang siapa yang mengenal Allah, maka ia
akan mengenal dirinya sendiri.Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.