Rabu, 06 November 2013

Wanita Buta Kata (Inspirasi kacau Pare)


Dapatkah alam mengajariku lagi.. gunung tinggi di ngarai masih bisakah mengajarkan perjungan untuk sampai puncak?, atau aku memang tidak pantas ada di sana?...

Biasanya jika liburan weekend kurus English tiba, selepas subuh kami sudah bersiap lari menghirup  kota Pare. Tapi hari ini berbeda, tiba-tiba ia menarik lenganku masuk pada sebuah angkot biru. Aku hanya diam membiarkan kendaraan umum itu membawa pagiku.

Sejam berlalu, kami sampai di puncak gunung Kelud.  Kami duduk selonjoran, kemudian ia mendongak sambil menunjuk-nunjukan jarinya. Lihatlah!.. kabut pagi begitu lebat sampai-sampai susah membedakan mana kabut mana embun. Gunung yang sekarang bersama kita juga kokoh tak pernah tergoyahkan oleh asap, kabut, embun, hujan, atau sedikit gempa. Burung-burung juga bercuit di angkasa bebas. Pohon-pohon hijau juga masih berjejer rapi menantikan tumbuh menjulang rata. Pagi itu, ia mengajariku bermidatasi dengan alam. Beradaptasi pada gunung. Berbicara dengan burung.

Perjalanan pulang  aku hanya diam dan membiarkan pergelangan otakku dikitari ribuan kata. Hasil kontemplasi ku pagi itu memuntahkan kata. Tiba-tiba aku ingin menulis. Ternyata tanpa sadar, dia juga mengajariku merangkai kata. Karena sebelumnya ,  aku bukanlah pujangga dan tidak bisa bermetafora. Itulah awal aku berkenalan dengan kata. Kini bagiku seakan dunia tersirat ribuan kata yang perlu disingkap tabirnya.
________________
 “Aku ingin berhenti bermimpi jadi wartawan! .” Dia setengah kaget dan berhenti menyeduh wedang jahe buatan ibu pedangang kaki lima di menara Gumul malam itu. Bukankah jadi wartawan dulu impianmu!!... Bukankah kau ingin dikenal lewat tulisan!..  “Entahlah Dim” keluhku,  aku sulit menjelaskannya.. Kala pagi aku selalu bingung dan ambivelansi  kata menjadi breakfestku selalu. Aku kesal.

Bayangkan saja, saat ini aku harus menghafal berlembar rumusan Toefl. Aku tidak boleh salah lagi membedakan antara Transitive dan Intransitive. Ia berbeda dengan fi’il lazim dan muta’addi yang kau kenal. Aku juga tidak boleh ditegur tutor ku lagi, karena  “Is” yang sebenarnya verb aku jadikan subjek. Aku tidak ingin ditegur  teman sebelahku karena kebanyakan melamun. Aku harus fokus mendengarkan listening. Aku harus kilat memahami reading. Percuma, aku tetap saja tak bisa fokus.

"Ah, aku ingin mewujudkan impian orangtuaku untuk masuk Universitas bergaya Internasional itu! Kenapa malah susah menghafalnya, karena yang ku ingat hanya kata, sahabat yang kau kenalkan padaku di puncak Kelud lalu. Ketika ku menghafal, bukan rumusan itu yang ku tangkap.  Tapi kata lain yang  malah hadir di benakku, mengapa tutor itu mengajar dengan teori seperti itu?

Belum lagi, tiap sore setelah kursus aku mengayuh sepeda ke surau bertemu adiikku. Untuk memberi semangat agar dia tetap putus asa mengaji dengan gurunya. Tapi setelah aku mengenal sahabatmu itu, aku bukan bertemu adikku. Tapi malah merenung di depan alat pentungan azan. Dan bertanya lagi pada kata, “Kenapa ia bisa terbuat dari kulit binatang dan menghasilkan bunyi?.

Lama lagi aku pulang dengan rumah yang sudah berantakan acak-acakan. Kakakku angkatku pulang hanya ketika lapar dan ingin uang. Jika keinginan tidak terkabul, dia akan merusak beberapa barang antik rumah. Ah.. Laki-laki memang suka emosi tak jelas. Susah untuk diajak berdiskusi dengan wanita. Memang lelaki selalu  measa paling kuat, tapi banyak yang salah menyikapi kekuatannya.
-------------
Aku berlari riang ke kosan Dimas, untuk mengabarkan bahwa tulisan ku diterima jadi wartawan di Koran Harian Repulika. Hasil tulisanku yang selalu tiap minggu kukirimkan mendapat apresiasi khusus. Tapi harapku pupus. Dimas yang setahun belajar bahasa inggris sudah pergi dua hari yang lalu meninggalkan kampung Inggris. Tak ada kabar tentangnya. Kali ini aku mulai yakin, karakter laki-laki itu. Sepertinya semua lelaki begitu. Dia tak pernah menjelaskan mengapa kata yang A dulu bisa berubah menjadi B. Sampai saat ini dia tidak pernah mengatakan alasan-alasan mubham itu sedikitpun. Dia juga tak pernah memberitahukan, mengapa ia mengajariku menulis dengan metode kuno itu. Yang aku tahu dia pernah menjadi Pimpinan di sebuah majalah tak begitu terkenal.Kursusku juga luntang-lantung tak terarah, karena aku suka 'ngeyel' dan membantah orang tua memaksakan keinginan ku sebagai penulis. Semua impianku pupus...

Aku ingin membutakan mataku, agar kata tidak lagi suka bertengger di pergelangan otakku. Agar aku tak dapat lagi melihat alam, raut populitas manusia, globalisasi dunia. Aku hanya diam. Biarkan aku mengubur di tanah kering di belakang rumah bertaman ubur. Biarkan alam memilihkan pilihan kehidupan untukku. Karena aku hanya wanita lemah yang telah dibutakan kata, yang ingin dipilihkan bukan ingin memilih.  Aku hanya berharap menjadi tebing di tepian laut. Jika ada goncangan, air laut masih bisa menerimaku menjadi sahabatnya. Walau mungkin esok dan nanti, entah aku masih di bawah, atau.... Hanya aku dan Tuhan yang tau.

Tangismu tak kan Pernah Terdengar


Tidak ada yang istimewa dari pentas seni tadi malam. Tari tradisional arabnya juga tidak mengundang gelak tawa. Shalawatan pembuka juga tak jauh beda dari tahun lalu. Yang mengesankan bagiku hanya kotakan dan sambal (Smart bereng lenong), mungkin karena lapar menggerogoti perutku. Semua penilaian tentang acara itu, tak lain karena kau dari tadi hanya diam tak bersuara. Seakan pikiran dan tubuhmu tertawan suasana.


Kemudian aku beranjak sebentar untuk melihat panggung lebih dekat. Melihat pertunjukan dari jelas. Benarkah semua itu membosankan?. Hmm... tidak juga, aku menerka. Kembali ku berbalik arah dan bersua dengan teman lama. Cipika-cipiku bareng beberapa jam dengan mengenang indah masa lampau. Ups.. aku lupa bahwa kau tertinggal di belakang panggung. Kau sendirian menonton pentas seni itu dengan layar tancap, bersama penonton yang tidak kebagaian kursi. Sebab keramaian tidak mungkin untuk menampung beribu penonton.

Teringat kau, aku bergegas kembali. Saat kembali, tetap masih diam. Kau tak mengeluarkan sepatah katapun, setidaknya mengomentari pagelaran yang dirasa membosankan itu. Aku curiga ketika kau menatap nanar matamu pada pemain itu. Lalu butiran air menggenang di pelupuk matamu. Entahlah, mungkin kau sudah mulai terbawa haru drama. Terharu karena syekh dalam drama itu meninggal. Aku mengira.

Pagi-pagi kau telah bertengger di depan bangku biru. Menungguku membawa bungkusan nasi goreng untuk makan pagi kita. Dipertengahan, kau  menggurutu  dan mulai muak dengan waktu. Kau mulai ketakutan. Aku sedikit terkekeh, karena kau juga menyita jatah makan ku. Ya kau pasti selalu kekurangan ketika makan. Tapi biarlah asal kau senang.

Malah bukan senang, tangismu berderai lagi. Aku  mulai geram. Kata-kata mulai keluar berjejer dari mulutku. "Sudahlah isakmu tak akan pernah habis. Jeritmu tak akan pernah terdengar. Sesalmu tak berguna. Karena kau hanya diam, membiarkan waktu membunuh mimpi dan citamu.

Ya mungkin kau lebih dulu tau. Bahwa kapal yang kuat itu, akan terus diterpa angin kencang  yang datang dari arah berlawanan. Pasak itu, harus kau tancapkan lebih dalam agar tendamu berdiri kokoh. Bukankah itu dulu petuahmu ketika ku putus asa?

"Sudahlah tak usahlah kau pikirkan kicau beo. Anggaplah itu hanya debu yang berterbangan kemudian digerus hujan. Jadilah seperti unta yang tak pernah mengeluh karena haus di tengah padang pasir panas."

Aku bermimpi hadir di yudisium kelulusanmu nanti. Hari dimana sejarah mencatat bahwa kau dan hujan pernah menangis. Kau dan sampah plastik pernah terbuang. Dan hari itu juga, air hujanmu kembali menguap ke angkasa raya. Sampahmu sudah didaur ulang dan bermanfa’at untuk manusia.

Kau tau mengapa ku begitu yakin dengan ketabahan hatimu? Karena kita tak jauh beda.

Semangatilah hari mu dengan zikir dan usaha. Karena ikhlas membuat keduanya menjadi do’a.

Never give up semoga kita dapat bertemu kembali. Kemudian  kau dan aku sama2 tertawa. :)