“Masuklah kamu ke Mesir, pasti
kamu memperoleh apa yang kamu minta". Penggalan surat al-Baqarah ayat
61 di atas ditujukan pada kaum nabi Musa, ketika hendak memasuki Mesir. Namun
sepertinya, eksistensi kalam ilahi tersebut masih relevan hingga kini. Ayat
tersebut juga ditujukan, bagi siapa yang memasuki negeri peradaban Islam ini.
Termasuk kita para Masisir. Mahasiswa yang merantau meninggalkan tanah air
Indonesia, demi mengenyam pendidikan di Universitas Islam ternama di dunia. Mahasiswa
perantau ini, dapat berprofesi apa saja yang diinginkan di Mesir. Entah itu
akademisi, organisatoris, pebisnis, pada setiap ranah pergerakan yang dikelola
Mahasiswa Indonesia Mesir.
Teringat beberapa tahun lalu ketika
para santri, siswa, bahkan mahasiswa, tengah berjibaku untuk mempersiapkan
dirinya demi mengikuti tes Departemen Agama. Bersemangat mempersiapkan diri
dengan kematangan belajar, hafalan al-Qur’an, melengkapi angket dan data-data persyaratan,
serta merelakan untuk bolak-balik keluar kota. Semua itu dikerahkan demi kelulusan
masuk Universitas yang diimpikan. Hingga pada akhirnya mimpi itu terwujud. Kemudian
setiap jiwa-jiwa yang lulus, mempersiapkan diri mereka menempuh jalan impian
selanjutnya. Bahkan ketika awal kedatangan, masih banyak yang tidak percaya
bahwa dirinya diberi anugrah seindah ini.
Mereka yang diberi anugurah indah tersebut, bak benang rapi yang siap
untuk dirajut. Lalu pertanyaannya, apakah kini benang tersebut sudah mulai dipintal
sedikit demi sedikit?, atau malah kusut tertiup arus angin?.
Mungkin hingga detik ini, di antara
Masisir sudah banyak yang sudah memintal benangnya, bahkan mungkin hampir
menjadi sebuah rajutan yang anggun. Para akademisi di perkuliahan sudah
menghafalkan muqoror sebulan sebelum ujian. Pegiat kajian sudah menamati
berjubel buku klasik dan kontemporer. Pegiat talaqi sudah banyak meresap ilmu
dari masyayikhnya. Pebisnis sudah memiliki keuntungan yang memuaskan.
Pegiat organisasi sudah banyak mengecap ragam pengalaman. Olahragawan telah
puas berkali-kali memenangkan pertandingan. Semua roda dinamika Masisir, terus
berputar tanpa henti. Semuanya saling berketergantungan satu sama lain. Tapi
apakah di samping keragaman kegiatan tadi, masih adakah Masisir yang termangu
berdiam dalam rumah tanpa ada tujuan?. Wallahu a’lam.
Perlu direnungkan kembali, bahwa
untuk mendapatkan gelar Mahasiswa membutuhkan waktu bertahun-tahun. Berbeda
dengan zaman nenek moyang kita terdahulu, lulus Sekolah Dasar sudah menjadi
kebanggaan. Namun kini gelar Mahasiswa tersebut disalah-artikan, seakan
identitas tersebut hanya pemeriah data atau kartu keanggotaan saja. Apalagi Masisir yang sistem
perkulihannya berbeda jauh dengan Mahasiswa Indonesia. Semua atas dasar
kesadaran diri. Kesadaran memenej antara waktu untuk kegiatan, kebutuhan,
dan waktu konsentrasi pada idealisme pribadi. Siapa yang memanfa’atkan setiap
detik waktunya, itulah mereka yang beruntung.
Di samping mereka yang beruntung,
mungkin ada yang sempat kehilangan identitas sebagai Mahasiswa al-Azhar Mesir.
Tapi banyak juga yang sadar ketika akan pulang. Sebagai manusia yang bertitel Mahasiswa,
mestinya dapat melaksanakan kewajibannya, yaitu berdedikasi menuntut ilmu
setinggi-tingginya. Maka ketika belajar empat tahun di Mesir, sudah cukup untuk
berkiprah di masyarakat. Setelah itu, tidak ada lagi Mahasiswa yang alergi
pulang, karena kurangnya persiapan keilmuan.
Dinamika yang sudah merambah pada
jiwa Masisir, sebaiknya tidak terlepas dari kebutuhan primer Masisir sebagai
Mahasiswa. Sebut saja Wihdah tahun ini, yang memiliki slogan “Let’s be
excellent muslimah scholar”. Seakan ketua Wihdah baru, ingin membentuk
perempuan Masisir yang multitalenta. Perempuan yang bisa memadukan antara kegiatan
akademis dan ekstrakulikuler. Begitu juga dengan ketua KPMJB periode lama, yang
menjadikan organisasi sebagai ladang pembelajaran, terbukti ia selalu mendukung
kegiatan keilmuan yang diadakan kekeluargaan atau di luar kekeluargaan. Sehingga
adanya organiasasi, seakan menjadi faktor penunjung Masisir menggapai
keberhasilannya, bukan hanya sebagai having fun, tanpa adanya kegiatan
yang membuahkan manfa’at.
Tak dapat dipungkiri, bahwa semua
orang membutuhkan refreshing. Melakukan kegiatan-kegiatan penyegar ritme
kehidupan. Tapi jika semua sudah sangat berlebihan dan melenakan, bagaimana
menapak tilasi alur impian?. Setelah itu datang penyesalan. Sarana dan prasana
dinamika disalah-gunakan. Akhirnya, benang yang rapi pada awalnya, mulai kusut
tertiup arus kesibukan having fun. Nafsu dipertuhankan.
Tidak ada kata terlambat, benang
kusut masih sempat untuk dibenahi, diuraikan, lalu dirajut kembali. Anggaplah
semua kehidupan itu pembelajaran. Di mana dan kapan pun pergerakan yang kita
lakoni, haruslah dijadikan wadah pembelajaran. Baik itu perkuliahan, kajian,
kesenian, olahraga, perdagangan dan lain sebagainya. Kesibukan itu semua,
janganlah sampai memudarkan karakteristik kita sebagai Azharian. Setidaknya
mengenali ulama-ulama al-Azhar, mufti, bahkan dosen yang mengajar di kursi
perkuliahan. Karena di Indonesia sana, Masisir sangat diharapkan untuk merubah
peradaban Indonesia. Peradaban yang kini kian kacau. Baik di segi politik,
sosial, budaya, serta pengajaran. Apalagi kini masyarakat Indonesia -menurut
pengakuan alumni-alumni al-Azhar di Indonesia- sudah banyak berkiblat dan mengambil
manfa’at dari cendikiawan alumni Barat. Sedang alumni Timur Tengah mulai termajinalkan.
Apakah sebab semua itu?
Beberapa hari yang lalu, Ustadz Ahmad
Sarwat, seorang pakar Fiqih di Indonesia, membuat sebuah note pada jejaringan
status facebooknya. Note yang berjudul “Pergi Balok Pulang Balok” tersebut, berisikan
tentang sindiran bagi pelajar Timur Tengah. Sindiran halus agar Mahasiswa
bersamangat menggali ilmu lebih dalam lagi. Ibarat balok polos, yang akan diolah
menjadi kursi, meja, sofa dan perabotan yang bermanfa’at lainnya. Analogi
tersebut, mengindikasikan bahwa cendikiawan muslim Indonesia membutuhkan alumni
Timur Tengah untuk bersinergi bersama, membangun kembali dekadensi nilai-nilai
agama di Indonesia.
Dengan sedikit celoteh di atas, penulis
berharap agar Masisir mengurai kembali benang kusutnya, menyadari kembali
tujuan hidupnya, selagi benang tersebut masih dapat dibenahi. Lalu berusaha
untuk terus tekun dengan rajutan tersebut, hingga dapat membentuk rajutan indah
yang diinginkan. Bagi yang sudah mulai merajut sedikit demi sedikit, agar tetap
fokus pada rajutannya, dan tidak mudah bepaling dari prioritas awal.
Dengan ini, besar harapan, agar semua
dinamika Masisir memiliki komposisi kegiatan yang bermanfa’at demi anggotanya. Juga
mempunyai kebijakan-kebijkan dalam mengharmonisasikan
antara kegiatan akademis dan non akademis. Agar nantinya terwujud integritas
pelajar yang intelek. Intelektual berkarakter Azhari. Melaju mempersiapkan diri
untuk bangsa yang dirindukan.