Jumat, 05 Juli 2013

Malam


Kini waktu tak  bersahabat lagi dengan komitmen.
Menyirnakan seluruh konspirasi kompeten.
Membengkokan kata yang teruntai curam..
Inspirasi redam..
Padam…
Garis itu kini berkilat pupus.
Memotong sendi-sendi ringkih ini dengan pedang lurus.

Lampau galau kemarau…
Gurun dicemiti usikan kalbu..
Memberi harapan palsu..
Masih adakah harapan itu…
Pilu….

Kenapa tak tanyakan burung berkicau pantau..
Mungkin pagi bergemuruh rindu..
Citaku tersenyum lagi..
Menjulurkan angan-angan ditemani keinginan..
Badai berteriak lagi mengutus seonggok harapan..

Bermimpi lagi wahai bumi..
Meniti jalan di tepian merintis..
Jangan kau pukul lagi harapan itu..
Bangkit… selami dasar lautan..
Kejar … tiraikan bendera perjuangan..
Optimis, berserah, turuti apa kata Tuhan…

Mengurai Benang Kusut



Masuklah kamu ke Mesir, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". Penggalan surat al-Baqarah ayat 61 di atas ditujukan pada kaum nabi Musa, ketika hendak memasuki Mesir. Namun sepertinya, eksistensi kalam ilahi tersebut masih relevan hingga kini. Ayat tersebut juga ditujukan, bagi siapa yang memasuki negeri peradaban Islam ini. Termasuk kita para Masisir. Mahasiswa yang merantau meninggalkan tanah air Indonesia, demi mengenyam pendidikan di Universitas Islam ternama di dunia. Mahasiswa perantau ini, dapat berprofesi apa saja yang diinginkan di Mesir. Entah itu akademisi, organisatoris, pebisnis, pada setiap ranah pergerakan yang dikelola Mahasiswa Indonesia Mesir.
Teringat beberapa tahun lalu ketika para santri, siswa, bahkan mahasiswa, tengah berjibaku untuk mempersiapkan dirinya demi mengikuti tes Departemen Agama. Bersemangat mempersiapkan diri dengan kematangan belajar, hafalan al-Qur’an, melengkapi angket dan data-data persyaratan, serta merelakan untuk bolak-balik keluar kota. Semua itu dikerahkan demi kelulusan masuk Universitas yang diimpikan. Hingga pada akhirnya mimpi itu terwujud. Kemudian setiap jiwa-jiwa yang lulus, mempersiapkan diri mereka menempuh jalan impian selanjutnya. Bahkan ketika awal kedatangan, masih banyak yang tidak percaya bahwa dirinya diberi anugrah seindah ini.  Mereka yang diberi anugurah indah tersebut, bak benang rapi yang siap untuk dirajut. Lalu pertanyaannya, apakah kini benang tersebut sudah mulai dipintal sedikit demi sedikit?, atau malah kusut tertiup arus angin?.
Mungkin hingga detik ini, di antara Masisir sudah banyak yang sudah memintal benangnya, bahkan mungkin hampir menjadi sebuah rajutan yang anggun. Para akademisi di perkuliahan sudah menghafalkan muqoror sebulan sebelum ujian. Pegiat kajian sudah menamati berjubel buku klasik dan kontemporer. Pegiat talaqi sudah banyak meresap ilmu dari masyayikhnya. Pebisnis sudah memiliki keuntungan yang memuaskan. Pegiat organisasi sudah banyak mengecap ragam pengalaman. Olahragawan telah puas berkali-kali memenangkan pertandingan. Semua roda dinamika Masisir, terus berputar tanpa henti. Semuanya saling berketergantungan satu sama lain. Tapi apakah di samping keragaman kegiatan tadi, masih adakah Masisir yang termangu berdiam dalam rumah tanpa ada tujuan?. Wallahu a’lam.
Perlu direnungkan kembali, bahwa untuk mendapatkan gelar Mahasiswa membutuhkan waktu bertahun-tahun. Berbeda dengan zaman nenek moyang kita terdahulu, lulus Sekolah Dasar sudah menjadi kebanggaan. Namun kini gelar Mahasiswa tersebut disalah-artikan, seakan identitas tersebut hanya pemeriah data atau kartu keanggotaan  saja. Apalagi Masisir yang sistem perkulihannya berbeda jauh dengan Mahasiswa Indonesia. Semua atas dasar kesadaran diri. Kesadaran memenej antara waktu untuk kegiatan, kebutuhan, dan waktu konsentrasi pada idealisme pribadi. Siapa yang memanfa’atkan setiap detik waktunya, itulah mereka yang beruntung.
Di samping mereka yang beruntung, mungkin ada yang sempat kehilangan identitas sebagai Mahasiswa al-Azhar Mesir. Tapi banyak juga yang sadar ketika akan pulang. Sebagai manusia yang bertitel Mahasiswa, mestinya dapat melaksanakan kewajibannya, yaitu berdedikasi menuntut ilmu setinggi-tingginya. Maka ketika belajar empat tahun di Mesir, sudah cukup untuk berkiprah di masyarakat. Setelah itu, tidak ada lagi Mahasiswa yang alergi pulang, karena kurangnya persiapan keilmuan.
Dinamika yang sudah merambah pada jiwa Masisir, sebaiknya tidak terlepas dari kebutuhan primer Masisir sebagai Mahasiswa. Sebut saja Wihdah tahun ini, yang memiliki slogan “Let’s be excellent muslimah scholar”. Seakan ketua Wihdah baru, ingin membentuk perempuan Masisir yang multitalenta. Perempuan yang bisa memadukan antara kegiatan akademis dan ekstrakulikuler. Begitu juga dengan ketua KPMJB periode lama, yang menjadikan organisasi sebagai ladang pembelajaran, terbukti ia selalu mendukung kegiatan keilmuan yang diadakan kekeluargaan atau di luar kekeluargaan. Sehingga adanya organiasasi, seakan menjadi faktor penunjung Masisir menggapai keberhasilannya, bukan hanya sebagai having fun, tanpa adanya kegiatan yang membuahkan manfa’at.
Tak dapat dipungkiri, bahwa semua orang membutuhkan refreshing. Melakukan kegiatan-kegiatan penyegar ritme kehidupan. Tapi jika semua sudah sangat berlebihan dan melenakan, bagaimana menapak tilasi alur impian?. Setelah itu datang penyesalan. Sarana dan prasana dinamika disalah-gunakan. Akhirnya, benang yang rapi pada awalnya, mulai kusut tertiup arus kesibukan having fun. Nafsu dipertuhankan.
Tidak ada kata terlambat, benang kusut masih sempat untuk dibenahi, diuraikan, lalu dirajut kembali. Anggaplah semua kehidupan itu pembelajaran. Di mana dan kapan pun pergerakan yang kita lakoni, haruslah dijadikan wadah pembelajaran. Baik itu perkuliahan, kajian, kesenian, olahraga, perdagangan dan lain sebagainya. Kesibukan itu semua, janganlah sampai memudarkan karakteristik kita sebagai Azharian. Setidaknya mengenali ulama-ulama al-Azhar, mufti, bahkan dosen yang mengajar di kursi perkuliahan. Karena di Indonesia sana, Masisir sangat diharapkan untuk merubah peradaban Indonesia. Peradaban yang kini kian kacau. Baik di segi politik, sosial, budaya, serta pengajaran. Apalagi kini masyarakat Indonesia -menurut pengakuan alumni-alumni al-Azhar di Indonesia- sudah banyak berkiblat dan mengambil manfa’at dari cendikiawan alumni Barat. Sedang alumni Timur Tengah mulai termajinalkan. Apakah sebab semua itu?
Beberapa hari yang lalu, Ustadz Ahmad Sarwat, seorang pakar Fiqih di Indonesia, membuat sebuah note pada jejaringan status facebooknya. Note yang berjudul “Pergi Balok Pulang Balok” tersebut, berisikan tentang sindiran bagi pelajar Timur Tengah. Sindiran halus agar Mahasiswa bersamangat menggali ilmu lebih dalam lagi. Ibarat balok polos, yang akan diolah menjadi kursi, meja, sofa dan perabotan yang bermanfa’at lainnya. Analogi tersebut, mengindikasikan bahwa cendikiawan muslim Indonesia membutuhkan alumni Timur Tengah untuk bersinergi bersama, membangun kembali dekadensi nilai-nilai agama di Indonesia.
Dengan sedikit celoteh di atas, penulis berharap agar Masisir mengurai kembali benang kusutnya, menyadari kembali tujuan hidupnya, selagi benang tersebut masih dapat dibenahi. Lalu berusaha untuk terus tekun dengan rajutan tersebut, hingga dapat membentuk rajutan indah yang diinginkan. Bagi yang sudah mulai merajut sedikit demi sedikit, agar tetap fokus pada rajutannya, dan tidak mudah bepaling dari prioritas awal.
Dengan ini, besar harapan, agar semua dinamika Masisir memiliki komposisi kegiatan yang bermanfa’at demi anggotanya. Juga mempunyai kebijakan-kebijkan  dalam mengharmonisasikan antara kegiatan akademis dan non akademis. Agar nantinya terwujud integritas pelajar yang intelek. Intelektual berkarakter Azhari. Melaju mempersiapkan diri untuk bangsa yang dirindukan.



PENYESALAN



Bisa dihitung empat kali aku tersesat di Mesir ini, bisa jadi lebih. Entahlah, mungkin karena aku sering berjalan sendiri dan aku tak suka menghafal jalan. Aku lebih suka manatap tulisan di buku atau memikirkan hal-hal yang perlu dipikirkan, ketimbang melihat jalanan Kairo yang tak ada indahnya. Ataupun faktor-faktor lain membuatku lupa jalan. 

Tersesat pertama kali ketika selesai shalat tarawih di masjid Rabi’ah al-Adawiyah. Mungkin karena ngantuk berat, aku langsung loncat ke tremco tujuan ‘Asyir. Tapi bukan “Hay ‘asyir”. Tanpa sadar, aku mulai linglung saat mobil melaju. Aku mendongak ke jalanan yang tak ku kenal. Hmm.. sepertinya ini jalan pintas, hiburku. Tak lama kemudian, mengapa tidak sampai pada arah yang ku kenal?, padahal mobil sudah berjalan sekitar dua jam. Ah.. mungkin karena aku tak hafal jalan, aku tak cemas. Wah.. ternyata benar, aku tersesat. Aku diturunkan di terminal yang sumpek, polusi, dan bising. Beruntungnya aku dipertemukan dengan sopir yang baik dan tak berulah. Ia bersedia menunjukan arah tremco ke “Hay sabi” lalu menyambung ke “Hay ‘asyir”. Alhamdulillah sampai asrama. :)

Selanjutnya, ketika hendak pergi ke Saraq. Ya, cuci mata gitu. Jujur, aku tak pernah ke Saraq sebelumnya. Ketika pulang, tidak tau kenapa, aku menaiki bus yang arahnya berlawanan dari arah tujuanku pulang. Sampai di depan kulliyah banat, aku baru sadar. Lagi-lagi tak ada rasa galau di hati. Aku tetap tenang.

Mungkin di kalangan Masisir, hanya aku yang tersesat menuju kantor PPMI. Ini karena aku menaiki mobil hijau yang suka memotong jalan. Akhirnya aku terseret dan diturunkan di tempat elite yang tak ku kenal. Tempat itu sepi, hanya jejeran polisi berjaga di pos. Aku sempat bertanya, tapi hasilnya nihil, aku tak paham omongannya. Mujurnya aku bertemu Taxi dan sampai di kantor PPMI. Aku juga tidak sedih, apalagi nangis.

Pernah juga ketika pertama kali ke Muqatam. Aku tersesat di daerah asing. Tidak ada tremco atau bus yang bersedia membawaku ke tempat yang aku tuju. Setelah menunggu lama, akhirnya bertemu jua dengan bus hijau tujuan Muqatam. Lagi-lagi aku tak mengeluh apalagi menyesal.

Point singkat:
1. Jangan mengabaikan setiap kesalahan walau kecil. Baik kesalahan berinteraksi dengan makhluk atau kesalahan individu. Jika merasa bersalah, tetap control diri dan tidak emosi. Pelajarai kesalahan, lalu lanjutkan meniti kebaikan.
2. Penyesalan itu tidak cukup sekali, harus berkali-kali. Lalu bertekad untuk tidak mengulangi.
3. Jika nanti bertemu saya tersesat di jalan, tolong tunjuki saya arah pulang. ;)

Kamis, 04 Juli 2013

Nikmat yang tak akan Habis

Pantai Matruh, 24 Juni 2013, 11:02 am

“Berdiri beberapa jengkal saja, tak di basahi air”, bisik Nela sambil menatap dari kejauhan laut.
Akhhh… “Apa ini!!” jeritku kesakitan. Dua kelajengking sudah merayap menggelikan di atas kaki ku.
“Huh… dasar kalajengking tidak berprikemanusiaan”.. (ya iyalah wong dia hewan jeeell). Aku menyerungut.
Awalnya aku tak ingin melepaskan sepatu, tapi lumpur licin itu menggodaku. “Mau pilih mana? Pakai sepatumu atau tergelincir karena ku?”. Ya jelaslah aku tak ingin tergelincir.
“Hei!! Lihat itu.. Cleopatra mandi dan membersihkan diri di bawah batuan besar, apa itukah yang dinamakan Hamam Cleopatra?”, semburat wajah riang Joha, lantas berlarian di tengah gemersik ombak. Lagi-lagi ombak  menampar, menggoyahkan badanku hampir gentar. Ah.. nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan??. Angin berbisik.
Matruh, warna airnya biru bening sampai ke dasar. Jika dilihat dari kejauhan, makin ketengah warna laut menjadi biru muda pekat. Kerikil dan pasir lembut , bak gula yang disirami air panas. Teringat bila hendak membuat teh di asrama. Semua itu simbolis keindahan pantai Matruh. Mengalahkan semua pantai yang pernah ku kunjungi. Kolam berenang yang ada di hotel seribu bintangpun, kalah saing.

                                          
   
Siang itu, kami tiba di Matruh setelah macet beberapa jam karena menunggu antrean bensin. Rombongan kami berjumlah 32 orang yaitu gabungan antara dua kewarganegaraan, Malaysia dan anggota Meyzer dari Indonesia. Meyzer angkatan Mahasiswa tahun kedatangan 2011 di Mesir.
Selepas Matruh, mobil melaju menuju Siwa. Sebelum sampai di Siwa, kami singgah di pantai salju bila dilihat dari kejauhan. Eits.. tapi jangan salah itu bukanlah salju sepenglihatan kita. Itu adalah pantai garam. Konon katanya, jika musim panas begini, garam membeku di atas permukaan pantai. Eh, ternyata  belum semuanya  kering, banyak ranjau. Membuat sepatu berkubang garam. Lantas badan yang terkena garampun perih rasanya, apalagi dalam keadaan terluka.
“Huh.. lihat! Di tengah pantai garam ini, masih ada yang menyempatkan diri untuk shalat di atasnya.”  Desis Nela, haru.  Setelah puas berfoto ria kami melanjutkan perjalanan ke Siwa.

Siwa,  24 Juni 2013, 03.40 am
Siwa merupakan daerah tentram di antara daerah-daerah yang ada di Mesir. Masyarakatnya ramah dan berpakaian putih bersih. Tak jarang kelihatan perempuan berkeliaran. Kabarnya, terdapat 12 kabilah di Siwa. Setiap tahunnya, mereka mengadakan pesta. Biasanya mereka sebut ‘Aid Siyahah’. Dalam upacara ini, terdapat pemimpin pada setiap kabilah. Di sini juga semua permasalahan pribadi maupun masyarakat dikeluhkan kepada pemimpin setiap kabilah, untuk diberi jalan keluarnya.
Pohon kurma bertebaran di Siwa, begitupun pohon Zaitun. Batang pohon zaitun digunakan untuk dijadikan arang. Terasa setiap potongan daging yang disate, berbeda dengan sate biasanya. Kata si penjual, pohon itu banyak terdapat karbohidrat dan bermanfa’at bagi kesehatan. Di sini tidak dialiri oleh sungai nil. Di mana-mana terdapat mata air. Hingga ikan juga hidup tentram di belahan mata air yang ada. Mata air ini disebut ‘Uyun Cleopatra’.

Siwa, 25 Juni 2013, 10.00. am

Pagi-pagi kami sudah diteriaki oleh sang Ketua untuk bergegas makan dan menuju bus. Di perjalanan nampak pohon kurma dan zaitun yang banyak lagi rindang. Kami menelurusi jalan setapak Jazirah Vatnas.
“Argh.. “!! Akbar meloncat kegirangan setelah melihat sumur di tengah hutan unik itu. Melepas atribut badan, dan menyelam di permukaan. Di antara rombongan kami, hanya dia yang berani menyelami sumur itu. Memang sumur itu tidaklah dangkal. Harus orang yang mempunyai keahlian berenang yang di jamin selamat.
Pertengahan perjalanan, kami diceritakan tentang ‘Ainu Urusah”. Kabarnya, mata air ini membuat yang berenang di dalamnya akan merasakan ketentraman berumah tangga. Ya, bagi yang belum menikah, agar lekas menemukan jodohnya. Namun sayang seribu sayang, waktu tidak bisa berkompromi. Akhirnya kita hanya bisa melihat dari kejauhan, mereka yang riang berenang.

Dhuhur usai, kita beralih pada kenikmatan selanjutnya, yaitu Jet Coster. Aku mendapat mobil pertama, berkilap. Sepertinya  mobil terbaru yang baru saja dipasarkan. Mobil melaju menuju padang pasir. Mari kita bayangkan Film liga emas, yang bermain dengan musuhnya di padang pasir yang tandus. Atau film The Message, yang bercerita tentang perjuangan Rasulullah SAW dalam peperangannya. Sungguh menakjubkan kawan. Serasa aku tak ingin lagi menaiki Jet Coster yang ada di ancol Jakarta untuk selanjutnya. Aku puas.
“AAAaaaaa”… Lagi-lagi teriakan histeris teman-teman yang terdengar. Mobil mendaki lalu menanjak turun terhempaskan. Sungguh nikmat Tuhan yang indah. Di tengah padang pasir, masih terdapat mata air. Di pelajaran Geografi KMI, dinamakan Oase. Air segar membuat ikan-ikan betah hidup di sana.
Melihat sunsite di tengah padang pasir, sungguh roman yang indah. Di tambah lagi seduhan teh niknak alami buatan sopir. Berikutnya, kami bermain pasir dengan lajuan ski. Sebagai perempuan kami tak sanggup memainkannya sambil berdiri, haruslah duduk dan butuh didorong terlebih dahulu.
Habis berlumuran debu pasir, malamnya kami bertengger di benteng Swiss, membicarakan permasalahan angkatan. Esoknya kami persiapan pulang. Terakhir, kami berenang di pantar Romel. Tiba di Kairo jam dua lebih setengah. Sebenarnya masih banyak lagi keindahan yang ingin dituliskan. Tapi mungkin tak cukup untuk dituangkan di sini. Ah… nikmat yang tak akan habis.