Jumat, 11 April 2014

CINTA TERTINGGI RABI’AH AL-'ADAWIYAH


Dalam muqoddimah buku “Rabi’ah al-Adawiyah” tersebut, Syekh Mahmud Syaltut menyebutkan bahwa di dunia ini kita membutuhkan tiga pondasi hidup: yaitu Islam, Iman, dan Ihsan.  Untuk perkara Ihsan, kita bermakmum pada pemimpin kita, yaitu Imam yang empat. Untuk perkara Iman, kita mengimani kepercayaan yang diusung  Imam Asy’ari. Dan perkara Ihsan kita berkaca kepada Hasan al-Basri dan Rabi’ah al-Adawiyah.

Diceritakan ada dua nama yang dinisbahkan kepada Rabi’ah al-‘Adawiyah. Pertama anak dari Isma’il yang berasal dari Syam, dan meninggal pada tahun 229 M. Kedua, Rabi’ah al-Adawiyah yang tidak menikah sampai akhir hayatnya, ia berasal dari Basrah, dan meninggal pada tahun 180 M. Dalam riwayat, Rabi’ah al-Adawiyah  terakhir inilah yang  bertemu dengan Dzunun al-Misri dan terjadi perdebatan antara mereka.

Sebelum kelahiran Rabi’ah, Ayahnya ingin sekali memiliki anak lelaki. Tetapi dengan kuasa Allah SWT, yang terlahir adalah anak perempuan. Dengan kerendahan hatinya akan takdir Allah SWT, ia tetap bahagia dengan kelahiran putrinya. Konon,  keluarganya merupakan keluarga yang tidak berkecukupan, sedangkan Rabi’ah memiliki tiga saudara perempuan. Rabi'ah sudah terlihat kezuhudan sejak kecil, yaitu suatu hari mereka sekeluarga keluar rumah ingin jalan-jalan.  Di pertengahan perjalanan, ayahnya menawarkan kepada anak-anaknya makanan, hanya Rabi’ah al-Adawiyah yang menolak makanan tersebut. Ia berkata, “Sabarlah wahai Ayah,  kelaparan kita di dunia lebih baik dari pada kita sabar di akhirat dengan neraka.”
 
Di saat malam tiba, dan semua orang terlelap dalam tidurnya, Rabi’ah kecil masih bersimpuh di atas sajadahnya, hingga fajar pagi kemerahan muncul dari balik ufuk, Rabi’ah masih menegadahkan tangannya seraya bertasbih dan bertahmid kepada Tuhannya. Diceritakan, bahwasanya ia shalat malam sepanjang malam hingga mencapai 100 raka’at, sampai tikar sajadahnya dapat diperas, karena air mata sucinya yang tercucur mengalir akan Cintanya kepada Tuhan. Cahaya Ilahipun terpancar dari sudut kamarnya, padahal tidak ada sedikit pun alat penerang semacam lilin berada di kamar itu.

Ketika umurnya belum beranjak dewasa, ayahnya sudah dipanggil kehadirat Allah SAW. Ayahnya tidak  meninggalkan apa-apa untuk keempat putrinya di Basrah, kecuali sebuah gubuk. Ketika itu, fitnah di Basrah sedang bergejolak antara Syiah dan Khawaraij.  Fitnah kehidupan di keluarga itu juga lama-kelamaan menyakitkan. Karena kehabisan persediaan, mereka berempat sering merasa kelaparan.  Pada saat itu, banyak penjahat-penjahat bekeliaran ingin mencuri.  Akhirnya Rabi’ah kecil tertangkap oleh seorang pencuri, ia berusaha kabur, tetapi ia malah terjatuh ke tanah. Niatnya untuk kabur nihil. Akhirnya  pencuri itu menjual Rabi’ah kecil dengan harga enam dirham saja. Bayangkan betapa menderitanya Rabi’ah ketika itu. Tetapi dengan izin Allah SWT Rabi'ah terbebas, dan menetap untuk sementara di masjid. Karena dia mengamini bahwasanya masjid tidak baik untuk wanita, maka ia memilih gubuk kecil sebagai tempat ibadah dan tempat tinggalnya.

Rabi’ah al-Adawiyah tidak menikah sepanjang hidupnya, dengan tiga alasan: Ia berkata, pertama “Ketika aku mati, aku bisa menghadapkan imanku dengan keadaan suci. Kedua, aku akan memberikan kitab di kananku pada Hari Kiamat. Ketiga, pada saat datang hari kebangkitan, akan dipanggil golongan kanan ke surga dan golongan kiri ke neraka, dan aku tidak mengetahui kemanakah aku akan dipanggil?. Dengan ketakutan yang sangat ini, bagaimana mungkin aku sempat untuk memikirkan pernikahan?. “

Pada suatu hari datang padanya seorang laki-laki dan bertanya, “Aku seorang pendosa dan pemaksiat, jika aku bertaubat apakah akan terampuni ?. Rabi’ah menjawab, “Tidak, kecuali Dia yang memberi taubat untuk mu.” Dalam surat Taubah ayat 118 berbunyi, “Tsumma Taba ‘Alaihim Liyatubu”.  Bukan berarti maksudnya di sini berputus asa akan taubat, tetapi ia melihat bahwa taubat adalah hadiah dan kenikmatan dari Allah SWT. Agar manusia sadar, bahwasanya ia membutuhkan ihsan dari Tuhannya. Untuk itu, manusia tidak boleh sombong ketika berhadapan dengan Tuhannya.  Dengan ini, manusia ada yang  bertaubat dari kehinaannya, ada yang bertaubat dari kealpaannya berzikir kapada Tuhan langit bumi, dan ada yang bertaubat dari fitnah nafsu atau keterpesonaannya melihat sesuatu yang baik.

Rabi’ah juga melihat, bahwasanya seorang pentaubat tidak cukup hanya dengan beristighfar. Tetapi pentaubat harus berjihad dengan nafsunya untuk meminta keridhoan Allah SWT, setelah terlepas selepas-lepasnya dari segala jerat dosa dan maksiat.  Maka sering kita mendengar nasehatnya, “Istighfaruna yahtaj ila Istighfar li ‘adami as-Sidhqi Fihi (Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi)”. Konon Rabi’ah meminta ampun kepada Tuhannya dengan do'a, “Astaghfirullah min Qillati Shidqi fi Qauli Astaghfirullah.”

Seorang sufi tidak pernah taklid buta dalam bermujahadah mencapai tingkatannya, tetapi 'hal' tersebut adalah mauhibah yang sudah melekat pada dirinya, yang dinamakan sebagai tabi’atnya. Dari masa Hasan al-Basri sampai munculnya Rabi’ah, semuanya masih dalam kezuhudan dan ibadah mereka pada umumnya. Namun kedatangan Rabi’ah, membawa aroma baru dalam kezuhudannya, yaitu “Hubbu al-Uluwy”.

Ada seseorang yang bertanya padanya, “Kapankah seorang dikatakan ridho?.” Dia menjawab, “Ketika dia senang ketika mendapat musibah, sama senangnya ketika ia mendapatkan nikmat.”

Rabi’ah telah tenggelam sepenuhnya akan kecintaannya pada Tuhannya. Pernah suatu ketika dia sujud dan matanya kemasukan kerikil kecil, saking konsentrasinya, ia tidak merasakan apa-apa hingga akhir shalatnya. Betapa khusyuknya pengabdiannya?...... 
Dia telah sibuk di alam lain hingga panca indranya  pun di dunia nyata tidak memberikan pengaruh  sakit sedikitpun darinya. Allah…..

Adapun karamah yang diberikan Allah SWT kepada Rabi’ah berupa penjagaan. Pada suatu hari pencuri masuk ke rumahnya dan sudah bergegas menghabisi baju-baju miliknya. Namun ketika keluar dari rumah Rabi’ah, si pencuri tidak menemukan pintu untuk keluar.  Kemudian terdengar suara bahwasanya ia tidak akan dapat mencuri apa-apa dari Rabi’ah, karena ia terjaga. Akhirnya Rabi’ah terbangun dan menyuruh pencuri berwudlu' dan shalat dua raka’at. Bukan kejelekan dibalas kejelakan, malah Rabi’ah mengangkat kedua tangannya dan meminta kepada Allah SWT agar tidak diputuskan kemuliaan dan pahala bagi si pencuri. Sungguh betapa penyayang dan beradabnya Rabi’ah….

Rabi'ah hidup mencapai delapan puluh umurnya. Tidak sedikit yang memuji kezuhudannya, hingga ketika akan meninggalpun ia tidak mau menyusahkan orang-orang sekelilingnya. Muhammad bin ‘Amru berkata,” Saya masuk ke kamar Rabi’ah, umurnya telah mencapai delapan puluh dan sering oleng ketika berdiri. Saya melihat keharuman semerbak dari kamarnya, dan sebuah gubuk kecil tempat shalatnya. Saat ia mengingat kematian, mengalirlah air matanya.”

Rabi’ah meninggal dengan membaca surat al-Fajr 27-28.

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan diri, dan mengingat Tuhannya, kemudian ia shalat. Tetapi kamu orang-orang kafir lebih memilih kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal."

----Intisati dari kitab "Rabi'ah al-'Adawiyah Rodhiyaallah 'Anha wa Ardhoha". I'dad: Muhammad 'Atif Khomis. Qadamaha: Abdul Halim Mahmud (Mantan Syekh al-Azhar). (Kairo: Maktabah Raudah as-Syarif lil bahsi al-Ilmi, 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar