Kamis, 09 Mei 2013

MENGENAL SIFAT MANUSIA



Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling mulia. Makhluk mulia yang menyanggupi untuk menjadi khalifah di bumi, setelah makhluk lainnya tidak dapat memikul beban berat itu. Makhluk mulia yang dihormati penciptaannya oleh para malaikat dan jin. Pada awal penciptaannya, manusia juga diiajarkan oleh Allah SWT nama-nama benda yang belum pernah diketahui oleh makhluk Allah sebelumnya.
Berbicara tentang manusia,dalam buku Bidayah al-Hidayah, Imam Al-Ghazali membagi manusia menjadi tiga tingkatan. Pertama, manusia mulia yang sederajat dengan malaikat, yaitu mereka yang selalu berbuat baik  dan hati mereka selalu tentram. Kedua, manusia yang sepadan dengan hewan dan benda mati, yaitu mereka yang sekedar berbuat kebaikan dan juga sekedar berbuat keburukan. Ketiga, manusia yang sepadan dengan kalajengking, ular, dan binatang buas lainnya, yaitu mereka yang tidak akan pernah berbuat kebaikan dan tidak berhenti melakukan keburukan.
Dapat kita lihat dari ketiga tingkatan di atas, bahwasanya sifat ini masih umum. Jika kita komparasikan dan perhatikan dengan berbagai fenomena yang ada di sekitar kita, pada setiap tempat dan waktu, manusia pada hakikatnya memiliki sifat mengeluh dari beribu keadaan. Miskin mengeluh, kaya mengeluh, sakit mengeluh, sehat mengeluh. Galau, risau, gundah, sedih sering kali mengusik kalbunya. Apabila sifat keluh ini terus menumpuk maka pada akhirnya jiwa, hati dan ucapan tidak dapat lagi terkontrol. Akibat keputusasaan akan hidup itu, banyak manusiayang menyalahkan-artikan keburukan tersebut, seakan semuanya sudah takdir yang diberikan Allah SWT padanya. Mereka berkata, “Toh, saya jadi pencuri, korupsi, pembunuh, pezina ini kan sudah takdir Tuhan, ya sudah terima saya apa adanya!”. Na’udzubillah, nastaghfirullah.
Melihat fenomena tersebut, ada baiknya kita memahami konsep af’alul ibad, sebelum prasangka buruk tersebut menggerogoti hati dan pikiran kita.Dalam persoalan ini, Syekh al-Syahid Ramadhan al-Buthi mencoba memberi pencerehan dalam bukunya Al-Insan Musayyar am Mukhayyar? (Human Compelled or Free?). Buku ini membantah keyakinan yang dianut oleh madzhab Qadariyah yang berkeyakinan bahwa manusia bebas berkehendak tanpa batas dantanpa didahului ilmu Allah SWT, dan Jabariyah yang berkeyakinan bahwa perbuatan manusia merupakan paksaan (diciptakan) oleh Allah SWT dan manusia tidak mempunyai kebebasan berkehendak. Syekh al-Buthi juga mengutarakan pendapat Mu’tazilah yang menisbatkan sifat buruk kepada Allah SWT, yang menyamakan antara arti berbuat buruk dan menciptakan sifat buruk.

Insan Mukhayyar
Sebelum kita mengabsahkan bahwa manusia adalah mukhayyar, ada baiknya kita memahami apa itu mukhayyar dan apa itu musayyar (Idhtiroriyah).
Manusia musayyar berarti semua perbuatan manusia yang bukan didasari keinginan mereka.Seperti bersin, gugup, sakit, kelahiran, kematian dan terjatuh tanpa alasan. Ini sama artinya dengan pohon yang digerakan oleh angin, perputaran orbit di angkasa, semuanya telah menjadi ketetapan Ilahi Rabbi.
Yang jadi persoalan di sini adalah, apakah manusia itu MukhayyarMukhayyar berarti manusia memiliki keinginantersendiri yang berbuah tindakan. Seperti keinginan manusia untuk menegakkan shalat, mengerjakan suatu amalan, dan hal lain sebagainya yang dilakukan atas dasar keinginan.
Dari sinilah kebanyakan manusia menganggap semua perbuatannya telah ditetapkan Allah, semua sudah takdir. Mereka belum dapat membedakan mana perbuatan yang musayyar dan mana yang mukhayyar. Manusia dikatakan mukhayyar, ketika Allah telah menciptakan manusia dalam keadaan suci, kemudian dia diberi akal untuk dapat memilih antara kebaikan dan keburukan.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, Rasulullah SAW bersabda: “Manusia diciptakan dalam keadaan suci, sedangkan bapaknyalah yang menjadikan iaNasrani, Yahudi, dan Majusi.”Dari hadis ini, dapat kita pahami bahwa Allah sudah menjadikan manusia suci pada awal kelahirannya. Lalu bagaimana jika ia terlahir dari keluarga dan lingkungan kafir?. Di sinilah peran akal dan ilmu menjadi acuan manusia mendapatkan hidayah. Karena Allah memberi hidayah kepada siapa yang Ia Kehendaki. Sering pula kita dengar berapa banyak muallaf yang masuk islam sedang ia berasal dari keluarga kafir,
Allah menciptakan alam beserta isinya, mentakdirkan kelahiran dan kematian, menciptakan kebaikan dan keburukan. Bermaksud agar manusia selalu berfikir dan terus mencari hikmah dari semua penciptaan ini. Dari sini peran manusia untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.
Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (Kebaikan dan keburukan)”. (QS. Al-Balad: 8-10)
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.(QS. Al-Syams: 7-8)
Permisalan ini dapat kita analogikan kepada guru yang menguji muridnya ketika ujian. Sang guru pasti selalu berharap keberhasilan muridnya, dengan selalu berdo’a dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mengajarkan ilmu demi keberhasilan muridnya. Namun pilihan di tangan murid. Muridlah yang memilih antara keberhasilan dan kegagalan. Jika ingin berhasil, maka ia pasti akan berusaha dengan gigih. Sebaliknya jika ia malas belajar maka kegagalan pulalah yang akan diperoleh.
Di sini manusia diuji dengan segala sarana-sarana yang diberikan Allah untuk kebaikan hambanya. Karena sejatinya Allah tidak ingin hambanya berada dalam kesesatan. Maka manusia hendaknya bersungguh-sungguh untuk mencapai jalan kebenaran tersebut. Kebenaran yang diyakini oleh hati nurani, dengan akal sebagai alat berfikir, dan ilmu sebagai pembuka kunci kebenaran tersebut.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembali” (QS. Al-Anbiya’: 35).
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(QS.al-Baqarah:155).
Mengenai hal ini, Mu’tazilah mengibaratkan bahwa siapa yang menciptakan keburukan, maka ia juga memiliki sifat buruk. Ibarat ini dinisbatkan pula pada Tuhan yang Esa.Ini merupakan kebatilan yang tidak dapat diterima akal. Jelas sudah bahwasanya menciptakan keburukan bukan berarti sang pencipta memiliki sifat buruk.
Selain itu Allah SWT juga menciptakan segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia baik eksternal maupun internal. Secara internal, manusia diciptakan dengan organ, darah dan semua patikel-partikel yang terdapat dalam tubuh manusia. Lalu diberi pula energi agar manusia berpotensi untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan dari segi eksternalnya, Allah SWT menciptakan untuk manusia faktor luar yang menjadi penunjang keinginan manusia, seperti pena untuk menulis, piring untuk makan, udara untuk bernafas dan lain sebagainya. Kemudian manusia diberi kenikmatan berkeinginan memilih antara keburukan dan kebaikan, dengan beraksi dan berinteraksi dengan segala yang Allah ciptakan untuknya.
Allah SWT juga menciptakan mata batin untuk manusia. Jika ia selalu memupuk kelakuan buruk, maka mata batin itu akan keruh bahkan saking keruhnya Allah menutup hati itu, hingga sulit untuk dimasuki sinar hidayah-Nya. Mereka sulit untuk mencapai kebenaran. Mengapa dapat terjadi demikian?.Sebabmereka selalu tunduk pada nafsu.“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS.Al-Kahfi 57).
Namun jika manusia selalu berusaha mencari kebenaran itu, maka Allah akan menerangi jalan kebenaran baginya.Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Nafsu diciptakan Allah dalam bentuk keburukan sedangkan hati diciptakan dalam bentuk kesucian.Semua diberikan pilihan kepada manusia, untuk mengikuti keburukan yang diselubungi hawa nafsu atau kebaikan hati yang disinari cahaya Allah. Nafsu juga lebih berbahaya dari pada bisikan syetan. Karena nafsu berada dalam diri manusia, sedang setan hanya sebagai faktor pendorong nafsu.
Dengan adanya kebaikan dan keburukan ini, Allah memerintahkan kepada manusia untuk selalu berlomba dalam kebaikan, “Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. al-Baqarah 148), berlomba mencintai yang Maha Cinta dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.Hingga akhirnya Allah hadiahkan bagi hamba-Nya yang pantas, Apakah itu surga atau neraka, atau bukan keduanya. Hanya Allah yang tahu. Pun jika Allah berkehendak, maka Allah ciptakan manusia semuanya beriman pada-Nya.“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”(QS. Yunus: 99). 
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud: 199)
Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (QS. Al-An’am: 139)
Setelah Allah menciptakan segala unsur yang ada pada manusia, serta keinginan manusia sendiri untuk melakukan suatu tindakan. Maka, dari keinginan manusia tersebut muncullah suatu tindakan (kasb). Dalam al-Qur’an, kata kasbdiartikan sebagai tindakan hati.”, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”( QS.Al-Baqarah 225). Jika terdapat ayat al-Qur’an yang menisbatkan kata “Kasb” kepada tangan, seperti dalam surat as-Syura ayat 30 “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu.”Hal ini berarti majaz ‘aqli.Semisal kalimat “Musim semi menyuburkan tanaman”. Dalam kalimat ini yang menyuburkan bukanlah musim semi tapi Allah yang Maha Kuasa. Jadi ayat tersebut merupakan majaz.Jadi pada hakikatnya,kata “kasb”dinisbatkan kepada tindakan hati.
Syekh Buthi juga membedakan antara keinginan (iradah) dan ridha. Sedang Muktazilah menyamakan antara keduanya.Iradah berarti suatu gagasan akal yang membuahkan tindakan baik itu disenangi ataupun tidak. Sedangkan ridha adalah hanya sebatas menggemari sesuatu. Iradah dan ridha ini seperti umum dan khusus. Kadang menginginkan sesuatu tapi tidak meridoinya.Pernah juga meridhoi sesuatu tetapi tidak menginginkannya.Bisa jadi ridha berbarangen dengan keinginan pada suatu.
Perbedaan ini dapat kita lihat kata  “iradah” dalam surat al-Fath ayat 11 dan kata  “ridho” surat az-Zumar ayat 7 di bawah ini :
4ö@è%`yJsùà7Î=ôJtƒNä3s9šÆÏiB«!$#$º«øx©÷bÎ)yŠ#ur&öNä3Î/#ŽŸÑ÷rr&yŠ#ur&öNä3Î/$JèøÿtR4ö@t/tb%x.ª!$#$yJÎ/tbqè=yJ÷ès?#MŽÎ7yzÇÊÊÈ
(Ÿwur4ÓyÌötƒÍnÏŠ$t7ÏèÏ9tøÿä3ø9$#ÇÐÈ
Jelas sudah dari kedua ayat di atas, bahwasanya Allah berkeinginan untuk menciptakan perbuatan baik dan buruk manusia.Tetapi keridhoan Allah tentunya pada keinginan agar manusia berbuat baik.
Setelah manusia memilki keinginan untuk menta’ati Allah dan bermaksiat, maka keinginan ini juga berada dalam kekuasaan Allah.Dalam artian, jika telah tertanam dalam hati manusia untuk melakukan kebaikan, maka Allah-lah yang berkehendak untuk mentakdirkan kepada manusia baik itu buruk mapun baik. Begitu juga dengan keinginannya berbuat keburukan, semua berada dalam kehendak Allah. Dengan kebebasan manusia untuk memilih ini, maka manusia kadang bermaksiat, kadang ta’at atau kadang ta’at dan maksiat berbarengan.“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Insan: 30). Ibarat seorang bayi yang dibantu oleh bapaknya ketika ingin mengambil sesuatu. Di sini letak kelemahan manusia yang tak terlepas dari keinginannya untuk memilih.
Setelah kita pahami bahwa manusia mukhayyar atas segala tindakannya, lalu bagaimana takdir yang telah ditetapkan Allah di lauhil mahfudz?,Apakah di antara qadha dan qadar dapat menghapus keinginan (‘azm) yang ada pada manusia?

Qadha dan Qadar
Memang Qadha secara bahasa berarti hukum yang digunakan untuk menghukumi oleh para ahli hukum. Namun secara terminologi, Qadha Allah adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada hamba-Nya, tanpa ada sangkut-pautnya pada keinginan dan pilihan setiap insan. Adapun Qadar berarti, kemunculan segala sesuatu perbuatan atas dasar keinginan manusia dan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan di azali.
Oleh sebab itu, Qadha bukanlah segala ketetapan yang diciptakan Allah pada manusia saja, tetapi ilmu Allah dengan apa yang terjadi dan yang akan terjadi. Dan ilmu selalu mengikuti pengetahuan. Dalam artian ilmu Allah tentang segala yang terjadi pada manusia seperti bencana alam, kematian, kelahiran dan segala musibah yang telah diketahui Allah sebelumnya, mengikuti keinginan manusia yang berbuah perbuatan manusia yang diciptakan oleh Allah.Bila dianalogikan, ilmu Allah ini ibarat lentera yang menerangi semua yang berada di depan mata, hanya saja ilmu Allah ini penerang bagi hati, akal dan pikiran setiap jiwa. Namun hati manusialah yang berwewenang untuk memilih.
Qadha dan qadar adalah satu kesatuan yang telah menjadi sunnatullah. Maka sakit, rezki, keberhasilan, kemenangan, semuanya adalah qada Allah dan qadar-Nya, yang diselaraskan dengan do’a dan usaha setiap hamba. Semisal, Allah telah mencatat bahwa fulan nantinya akan sakit jantung. Di samping itu Allah mengetahui bahwa fulan selalu berdo’a agar terjaga dari segala penyakit, bisa jadi Allah memberi dia kesembuhan atau sudah ditetapkan baginya ajal. Oleh sebab itu, tawakal manusia di sini bukanlah tawakal pada qada’, tapi pada takdir yang telah ditetapkan Allah pada manusia.
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’d: 39)
Do’a merupakan senjata ampuh sebagai penolak bala, kemudian bertawakal pada takdir setelah usaha dan do’a dikerahkan.Dalam hadist yang diriwayatkan Ahmad dan Nasa’I, Rasulullah SAW.bersabda: Seorang diharamkan bagianya rezki atas maksiat yang dilakukannya, dan takdir dapat berubah dengan do’a, maka tambahlah sisa umur dengan kebaikan”. Arti qada dan qadar dalam hadist ini adalah takdir yang direalisasikan dengan ikhtiyar manusia sendiri.
Dari pemaparan di atas jelas bahwa manusia memiliki ikhtiyar untuk melakukan apa yang dia ingini. Manusia diuji dengan segala yang ada di depannya berupa kebaikan dan keburukan.Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,(QS. al-Hadid 22-23)
Semua menjadi kehendak Allah untuk memberi hidayah kepada siapapun yang Dia kehendaki.Tapi hidayah pasti akan diberi kepada hamba-Nya yang ta’at. Begitu juga dengan kesesatan bagi hamba yang bermaksiat.
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, “Yaitu orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.Dan Allah tidak akan membebani bagi hamba-Nya yang berusaha. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. al-Baqarah: 286)
Telah banyak Allah memberi dalil atas Kuasa-Nya. Apalagi Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia, sudah banyak berbicara tentang kebenaran dan pekerjaan yang diridhoi Allah. Di tambah lagi dengan diangurahkan kepada umat manusia insan mulia, yaitu Baginda Rasulullah SAW. Maka haruslah bagi manusia untuk selalu berjihad mencari kebenaran tersebut. Agar hidayah Allah selalu menuntun kepada kebaikan. Karena kebaikan dan kebenaran akan berujung kepada keburuntungan manusia itu sendiri. “Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(QS. al-Ankabut: 6). Oleh karena itu marilah kita selalu mengingat Allah agar hati kita dapat teriringi dengan cahaya kebenaran.  Hati, akal dan pikirannya akan selalu tentram. Sebab barang siapa yang mengenal Allah, maka ia akan mengenal dirinya sendiri.Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar